Baik Presiden maupun mantan presiden merupakan bagian dari lembaga politik negara yang seharusnya tidak boleh kebal terhadap kritik, termasuk satir.
Polisi perlu bersikap lebih santai dan punya selera humor yang lebih baik dalam bekerja, khususnya saat memantau platform media sosial. Mereka harus mampu mengenali unggahan satir ketika melihatnya. Sindiran satir, dalam demokrasi, merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi.
Memenjarakan seseorang karena mengunggah gambar tentang para pemimpin negara di media sosial dan kemudian menuduhnya melakukan pencemaran nama baik adalah tindakan yang berlebihan. Internet dipenuhi meme yang mengkritik pemerintah dan para pemimpin nasional, banyak di antaranya yang diekspresikan secara kreatif melalui satir.
Menindak satu unggahan yang tidak pantas, seperti yang dilakukan polisi baru-baru ini, berarti mengirimkan pesan yang salah tentang kualitas demokrasi dan kebebasan berekspresi kita. Ini bukan hanya tentang satu unggahan itu. Mungkin banyak orang lain yang kini merasa terhambat dan terintimidasi oleh tindakan polisi, ketika mereka ingin mengunggah ekspresi politik yang kreatif.
Polisi telah membebaskan mahasiswa Bandung tersebut karena mengunggah meme viral. Tetapi mereka belum mencabut tuntutan, berdasarkan pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tidak ada yang hal yang sifatnya menyerang dalam meme tersebut, yang sampai sekarang masih beredar di platform media sosial. Mahasiswa pengunggahnya, menggunakan kecerdasan buatan, membuat gambar Presiden Prabowo Subianto yang mencium pendahulunya, Joko “Jokowi” Widodo, di bagian mulut.
Karena ini adalah sindiran, maka akan ada beragam interpretasi. Tetapi tidak seorang pun yang paham politik Indonesia, termasuk polisi, dan yang mengenal baik kedua tokoh publik terkemuka ini, yang akan menyimpulkan bahwa mereka sedang menjalin hubungan asmara.
Interpretasi yang lebih valid adalah bahwa ada kolusi politik yang sedang berlangsung di antara kedua pemimpin ini. Memang ada alasan kuat untuk curiga, mengingat Jokowi tampaknya tetap punya pengaruh dalam pemerintahan sekarang. Bukankah Prabowo yang bulan lalu baru saja meneriakkan "Hidup Jokowi" dalam pidatonya di acara Partai Gerindra?
Meme tersebut hanya mengekspresikan sentimen yang dirasakan oleh banyak orang di negara ini, tentang situasi politik dan kepemimpinan nasional saat ini. Selanjutanya terserah kepada kedua laki-laki dalam meme itu, atau para pendukung mereka, untuk menanggapinya, menggunakan ekspresi yang sama kreatifnya. Menangkap sang mahasiswa bukanlah jalan keluar yang tepat.
Jika polisi merasa unggahan itu tidak baik, mereka bisa saja memerintahkan pihak platform untuk menghapusnya. Hal itu menjadi kewenangan mereka, berdasarkan peraturan negara tentang media sosial. Tapi sebaliknya, mereka justru memutuskan untuk menangkap sang mahasiswa pengunggah. Akibatnya, langkah itu menarik perhatian yang akhirnya malah meningkatkan viralitas unggahan. Di sisi lain, aksi itu membuat polisi menuai kritik dan ejekan.
Lebih konyol lagi, polisi melakukan penangkapan hanya beberapa hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak mengistimewakan lembaga negara. Karena itu, tindakan apa pun dari polisi harus didasarkan pada pengaduan yang diajukan oleh individu yang merasa telah dicemarkan nama baiknya.
Baik Presiden maupun mantan presiden adalah bagian dari lembaga politik negara yang seharusnya tidak luput dari kritik, termasuk sindiran. Kantor Prabowo mengatakan bahwa ia tidak mempermasalahkan meme tersebut. Tidak jelas juga apakah Jokowi telah melapor, meski ia berkomentar bahwa meme tersebut "berlebihan". Namun, jika ia tidak mengajukan pengaduan resmi, mengapa polisi bertindak? Apa mereka tidak membaca putusan MK?
Polisi mengatakan bahwa mereka membebaskan mahasiswa tersebut atas nama "kemanusiaan" dan "pendidikan". Mereka mengabulkan permintaan orang tua dan pengajar sang mahasiswa di perguruan tinggi. Mahasiswa tersebut juga minta maaf kepada kedua pemimpin dan setuju untuk menjalani pembinaan, semacam konseling korektif yang dilakukan oleh orang tua dan kampus. Hal itu disampaikan pengacara sang mahasiswa.
Kasus ini bukan pertanda baik bagi demokrasi. Jika ada yang harus meminta maaf, maka mestinya polisi yang melakukan karena telah salah tangkap. Dan jika ada yang butuh pembinaan, maka mestinya polisi juga yang dibina, karena telah gagal melihat sindiran satir dan karena menghalangi hadirnya ujaran politik yang secara hukum sah dilakukan masyarakat.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.