TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Lega, paling tidak untuk saat ini

Meskipun perjanjian Jenewa membawa harapan baru, perjanjian itu tidak menghapus semua kerusakan yang sudah terjadi. Perdagangan global kita tidak akan pernah jadi seperti dulu lagi.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, May 19, 2025 Published on May. 18, 2025 Published on 2025-05-18T18:43:24+07:00

Change text size

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Lega, paling tidak untuk saat ini A mural by Berlin-based graffitti artist Eme Freethinker of United States President Donald Trump and lettering reading 'Made in China' is pictured on a wall at the Mauerpark public park in Berlin on April 26. (AFP/Tobias Schwarz)
Read in English

 

Kesepakatan perdagangan yang mengejutkan antara Amerika Serikat dan Tiongkok pada 12 Mei lalu berarti besar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Penundaan pemberlakuan tarif rata-rata bagi banyak negara, yang dilakukan AS selama 90 hari sejak awal April, hanya akan berimbas minim bagi perdagangan global, kecuali jika AS dan Tiongkok, dua negara ekonomi terbesar di dunia, berhenti melakukan perang tarif.

Setiap eskalasi perdagangan di antara kedua negara tersebut akan menyebabkan dampak signifikan bagi banyak pihak. Hal itu mengingat banyak negara terlibat sebagai bagian dari rantai pasokan untuk industri di Amerika dan Tiongkok. Indonesia pun termasuk. Setiap gejolak akan menggoncang pabrik-pabrik, pelabuhan-pelabuhan, dan akhirnya, memengaruhi tenaga kerja kita.

Selain itu, jika AS, importir terbesar di dunia, berhenti membeli produk Tiongkok, yang merupakan negara eksportir terbesar di dunia, bayangkan betapa seramnya situasi ketika para produsen Tiongkok melempar kelebihan pasokan mereka ke negara-negara berkembang, saat mereka harus segera mencari pasar alternatif.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Namun, meskipun perjanjian Jenewa membawa harapan, kesepakatan itu tidak menghapus segala hal buruk yang telah terjadi. Perdagangan global kita tidak akan pernah sama seperti dulu lagi.

Kedua negara masih menghadapi beberapa tarif, dengan tarif 30 persen untuk barang-barang China yang masuk ke AS. Lalu ada pungutan 10 persen untuk barang-barang Amerika yang masuk ke China. Sebuah kemajuan, setelah tarif sebelumnya mencapai 125 persen.

Indonesia, bersama dengan negara-negara berkembang lainnya, masih akan merasakan tekanan dari tarif dasar yang baru. Tidak ada pilihan, selain beradaptasi dengan kenyataan yang ada.

Secara umum, keadaan masih belum pasti karena semuanya akan bergantung pada hasil negosiasi antara AS dan Tiongkok, yang berlangsung selama 90 hari ke depan. Semua pihak masih menduga-duga jika keduanya dapat mencapai kesepakatan nyata yang benar-benar berlangsung lama.

Lebih jauh, selama beberapa tahun terakhir, dunia telah mengalami terkikisnya sistem perdagangan global yang terbuka dan berbasis aturan. Padahal, itulah yang sejak lama diandalkan oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Proteksionisme, yang dulunya merupakan pengecualian, adalah sesuatu yang perlu kita jalani sebagai norma yang diterima dalam lanskap ekonomi global masa kini. Nasionalisme ekonomi kini tengah membentuk kontur perdagangan internasional yang baru, yang lebih terfragmentasi dari situasi sebelumnya.

AS, dalam hal ini, menjadi contoh yang jelas terkait apa yang dapat terjadi di masa depan. Sejak Trump berkuasa untuk masa jabatan keduanya, tarif yang diberlakukannya telah memaksa perusahaan-perusahaan dari negara lain untuk menggelontorkan investasi miliaran dolar ke AS. Manuver tersebut ia harap akan membawa lapangan kerja dan pembukaan kembali pabrik-pabrik di tanah AS.

Kebijakan Trump, nyaris sama dengan yang telah dilakukan Indonesia di masa lalu, dalam hal larangan ekspor sumber daya alam mentah dan persyaratan konten lokal. Selama bertahun-tahun, kebijakan itu telah dikeluhkan oleh AS dan negara-negara Barat lainnya.

Melihat apa yang telah dilakukan AS, dapat menjadi pengingat bagi Indonesia, serta negara-negara berkembang lainnya, bahwa mereka juga harus mempertimbangkan untuk melindungi industri mereka sendiri secara lebih aktif.

Melindungi bukan berarti menutup diri dari dunia atau menarik diri dari persaingan yang sudah jelas pemenangnya. Seperti halnya AS, investor perlu jaminan bahwa investasi mereka di Indonesia tidak akan sia-sia. Dengan demikian, beberapa kebijakan untuk menambah pembelian domestik dan pengendalian impor masih diperlukan.

Bagaimana pun, kita dapat menyimpulkan bahwa semua kejadian ini hanya bersifat sementara. Seluruh kondisi akan begini hingga saatnya industri lokal menjadi lebih maju dan mampu bersaing secara internasional. Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendorong sektor industri merasakan kebutuhan besar akan perbaikan, juga kebutuhan berinvestasi dalam teknologi, serta menambah rantai nilai, dan bukannya sekadar puas pada langkah-langkah proteksionis yang diberikan negara.

Kesepakatan antara AS dan Tiongkok dapat menghentikan sementara persaingan perdagangan yang berpotensi mengguncang ekonomi global. Namun, kesepakatan tidak menyelesaikan keretakan struktural yang terjadi di antara kedua kekuatan tersebut.

Di masa mendatang, mungkin terjadi gejolak. Indonesia harus bersiap menghadapinya. Artinya, Indonesia harus membangun ketahanan di dalam negeri sambil memajukan diplomasi di luar negeri.

Pada akhirnya, kesepakatan perdagangan melegakan dunia. Tetapi, kelegaan itu menandai awal dari ketidakpastian masa depan yang perlu dipersiapkan oleh negara-negara seperti Indonesia. Negara ini harus siap dengan pemikiran strategis dan bersikap antisipatif dalam menghadapi kemungkinan terburuk.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.

Share options

Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!

Change text size options

Customize your reading experience by adjusting the text size to small, medium, or large—find what’s most comfortable for you.

Gift Premium Articles
to Anyone

Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!

Continue in the app

Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.