Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsMeski ada optimisme tinggi di kalangan pejabat Indonesia, tetap saja publik mencurigai ketulusan Singapura, khususnya mengenai perjanjian ekstradisi.
Melalui kunjungannya baru-baru ini, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong telah meyakinkan Presiden Prabowo Subianto bahwa kedua negara akan segera menuai manfaat dari tiga pakta yang mereka tandatangani tiga tahun lalu. Pakta itu termasuk perjanjian ekstradisi bersama. Pertanyaannya masih sama: Kapan manfaat itu, khususnya tentang ekstradisi, akan terwujud?
PM Wong mengakui pentingnya perjanjian ekstradisi bagi Indonesia. Dan ia pun ingin menghilangkan pendapat lama bahwa Singapura adalah tempat yang pelarian aman bagi buronan korupsi dari Indonesia, yang membawa kekayaan yang diperoleh secara tidak sah. Baru-baru ini, ia mengumumkan bahwa kasus ekstradisi pertama sekarang sedang berproses di pengadilan Singapura. Penyelesaian kasus itu adalah hasil dari kerja sama erat antara lembaga penegak hukum dari dua negara tetangga di ASEAN tersebut.
Dalam konferensi pers bersama, Wong mengatakan bahwa langkah konkret ini menunjukkan kemampuan kedua negara untuk menyelesaikan masalah yang rumit. Bagi Indonesia, sangat penting untuk membuktikan bahwa Singapura bukan lagi tempat berlindung para koruptor elitnya.
Perjanjian ekstradisi, yang ditandatangani pada 2022, berbareng dengan Flight Information Region (FIR), perjanjian terkait wilayah udara, serta perjanjian kerja sama pertahanan (defense cooperation agreement atau DCA), dirancang untuk meningkatkan kerja sama melawan kejahatan transnasional, seperti korupsi dan pencucian uang. Perjanjian ekstradisi mencakup 31 jenis pelanggaran, termasuk penyuapan, dengan efek retroaktif selama 18 tahun.
Indonesia telah berupaya mendapatkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura sejak tahun 1970-an. Mengingat status Singapura sebagai pusat keuangan utama dan kedekatan geografisnya dengan Indonesia, negara ini telah sering jadi tujuan bagi individu yang berusaha menghindari tuntutan hukum di Indonesia.
Singapura secara konsisten menempati posisi di antara negara-negara yang paling tidak korup secara global. Sebaliknya, Indonesia masih bergulat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme; yang menjadi seruan perlawanan saat reformasi pada 1998. Singapura berada di posisi ketiga dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency International pada 2024. Sementara itu, Indonesia berada di posisi ke-99, dari 180 negara dalam laporan yang sama. Indonesia mendapat skor 37 dari 100. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa Indonesia harus mengatasi masalah korupsi internalnya sebelum menyalahkan faktor eksternal semata.
Meskipun ada optimisme tinggi di kalangan pejabat Indonesia, kecurigaan publik tetap ada terkait ketulusan Singapura, khususnya mengenai perjanjian ekstradisi. Ada kekhawatiran bahwa Singapura akan menjadi pihak yang lebih diuntungkan oleh dua perjanjian lainnya.
Sebelumnya, di masa lalu, upaya untuk finalisasi perjanjian ekstradisi berulangkali menghadapi hambatan. Sebuah perjanjian ditandatangani pada 2007. Tapi, DPR menganggap bahwa perjanjian DCA dan FIR secara tidak proporsional menguntungkan kepentingan keamanan Singapura. Karena itu, DPR enggan meratifikasi perjanjian ekstradisi jika tidak ada perubahan yang secara keseluruhan membuat perjanjian itu menjadi lebih seimbang.
Menurut Wong, tiga kerangka kerja perjanjian yang diperluas menjadi dasar bagi kolaborasi dalam bidang pertahanan, pengelolaan wilayah udara, dan penegakan hukum antara kedua negara. Tiga perjanjian itu telah diratifikasi oleh parlemen kedua negara.
Kedua negara punya hubungan ekonomi yang kuat. Nilai investasi asing langsung Singapura di Indonesia mencapai 20,1 miliar dolar Amerika pada 2024. Angka itu mewakili sepertiga dari total realisasi investasi asing di Indonesia tahun lalu
Namun, kasus banding pengusaha Paulus Tannos yang sedang berlangsung di pengadilan Singapura seperti menguji efektivitas perjanjian ekstradisi. Buronan Indonesia itu menggunakan semua jalur hukum untuk mencegah ekstradisinya ke Indonesia. Tannos dituduh terlibat dalam skandal pengadaan kartu identitas elektronik. Ia telah menjadi pemegang kartu penduduk tetap Singapura sejak 2017 dan ditangkap di Singapura atas permintaan Indonesia.
Jakarta telah menyerahkan dokumen yang diperlukan untuk menunjukkan akuntabilitas Tannos dalam kasus korupsi raksasa itu. Meskipun ada optimisme tinggi di kalangan pejabat senior Indonesia mengenai kemungkinan ekstradisi Tannos, beberapa pihak secara pribadi menyatakan kekhawatiran bahwa Singapura mungkin menolak permintaan tersebut, yang mau tidak mau menjelaskan kompleksitas kasus ekstradisi perdana ini berdasarkan perjanjian baru.
Di luar ekstradisi individual, efektivitas ketiga perjanjian tersebut bergantung pada komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi. Presiden Prabowo telah berjanji akan memberantas masalah kronis ini. Ia membuktikan dengan serangkaian penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap berbagai skandal korupsi yang melibatkan perusahaan dan kementerian milik negara. Tapi, janji itu juga digaungkan oleh para pendahulunya.
Pemulangan tersangka korupsi, seperti Tannos, tidak akan berarti apa-apa tanpa ada kemauan politik Indonesia untuk membawa semua koruptor ke pengadilan dan mengembalikan aset negara yang telah mereka curi.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.