Can't find what you're looking for?
View all search resultsCan't find what you're looking for?
View all search resultsHujan deras di luar musim, dan bencana hidrometeorologi yang mengikutinya, hanyalah bukti nyata bahwa krisis iklim benar-benar terjadi dan berpengaruh pada kehidupan kita.
Selamat datang di Indonesia yang baru. Sekarang ini, bulan Juli bukan lagi masanya orang-orang menyimpan air di aneka wadah, bersiap menghadapi musim kemarau yang kering. Justru, bulan Juli jadi masa mereka berlindung di bawah payung dan menyerok air dari rumah-rumah mereka yang tergenang.
Akhir pekan lalu, misalnya. Hujan deras selama berjam-jam mengguyur sebagian besar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Hujan lalu memicu banjir yang menggenangi rumah-rumah dan jalan-jalan utama di kota. Hujan turun lagi pada Senin, menciptakan mimpi buruk kemacetan lalu lintas di jam-jam sibuk sore hari, karena jalan besar menuju wilayah pinggiran kota tergenang.
Banjir mungkin tidak mengejutkan bagi penduduk yang tinggal di daerah rawan banjir seperti Ciledug, yang terletak di perbatasan Jakarta dan Tangerang. Tetapi, lokasi lain di wilayah Jabodetabek, yang biasanya aman dari banjir, minggu ini termasuk yang terdampak. Rekaman video pusat perbelanjaan mewah di Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, Banten, yang terendam banjir lumpur, beredar luas di media sosial. Video itu menunjukkan bahwa banjir bulan Juli tidak mengenal kesenjangan sosial ekonomi.
Tak hanya di Jakarta. Daerah lain di tanah air, seperti Mataram, Nusa Tenggara Barat, juga terdampak banjir. Di sana, banjir hampir mencapai atap sebuah rumah satu lantai.
Hujan deras di luar musim, dan bencana hidrometeorologi yang mengikutinya, hanyalah bukti lain bahwa krisis iklim benar-bendar ada dan berpengaruh pada kehidupan kita.
Beberapa studi menunjukkan bahwa kenaikan suhu global telah menyebabkan permukaan laut lebih panas, termasuk di Samudra Hindia dan Pasifik Barat. Pemanasan ini lalu meningkatkan kemungkinan pembentukan awan hujan di atas kepulauan Indonesia. Sekitar 20 kilometer di atas kepala kita, awan-awan tersebut bertemu dengan fenomena iklim lain, yang memicu hujan deras di Indonesia.
Hujan dan banjir bulan Juli mungkin hanyalah awal dari masa depan cuaca ekstrem, akibat makin parahnya pemanasan global yang dipicu oleh emisi gas rumah kaca dari hari ke hari. Sekaranglah waktunya, jika belum terlambat, bagi kita untuk bersiap dan bertindak. Ini waktunya, sebelum krisis iklim semakin parah.
Kami mengapresiasi respons pemerintah daerah di Jabodetabek yang dengan cepat telah berupaya mengurangi banjir selama beberapa hari terakhir. Jakarta, misalnya, menyalakan pompa untuk mengalirkan air dari daerah terdampak. Tim penyelamat pun membantu warga mencari tempat berlindung.
Namun, sudah saatnya bagi pemerintah untuk berbuat lebih banyak dalam menghadapi prediksi yang mengkhawatirkan bagi tempat tinggal kita, di era krisis planet ini. Di masa mendatang, hujan mungkin akan lebih deras dan lebih sering, sehingga meningkatkan risiko banjir. Yang disebut krisis planet adalah gabungan masalah akibat perubahan iklim, punahnya keanekaragaman hayati, dan polusi.
Para pejabat pemerintah, termasuk Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, tidak dapat lagi mengandalkan solusi lama berupa normalisasi sungai menggunakan infrastruktur berbasis beton, dalam mencegah banjir yang lebih parah di masa mendatang. Mereka harus mencari akar permasalahan. Bisa saja, masalahnya adalah buruknya perencanaan kota, yang membuka jalan bagi pusat perbelanjaan atau gedung baru, tanpa menyediakan ruang bagi air hujan agar bisa mengalir ke sungai dan danau di kota.
Sudah saatnya pemerintah daerah memprioritaskan adaptasi terhadap perubahan iklim. Upaya-upaya seperti membangun rumah-rumah susun untuk permukiman padat di perkotaan harus jadi prioritas. Selain itu, pemerintah harus membangun lebih banyak ruang terbuka hijau untuk umum, dan memastikan kelancaran aliran sungai ke laut.
Adaptasi terhadap perubahan iklim harus berjalan beriringan dengan upaya-upaya mitigasi krisis. Mempromosikan energi bersih dan terbarukan sebagai alternatif bahan bakar fosil serta menghindari deforestasi harus menjadi salah satu prioritas pemerintah. Kita tidak bisa membanggakan transisi energi, sementara di sisi lain membiarkan pembangkit listri tenaga batu bara menjamur demi mendorong industri-industri kita.
Para ahli telah memperingatkan bahwa kita berada dalam masa-masa sulit. Tindakan-tindakan untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan global akibat kekacauan iklim sangatlah penting. Hujan deras dan banjir yang terjadi selama musim kemarau baru-baru ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua, untuk bekerja lebih keras dalam mencegah terjadinya hal-hal terburuk.
Jadikan Juli sebagai bulan terbaik untuk merasakan kehangatan matahari.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.