etegangan memuncak antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), menyusul penangkapan dua perwira aktif oleh badan antikorupsi Indonesia. Penangkapan ditanggapi dengan desakan militer agar kasus tersebut dibawa ke ranah hukum militer, yang memicu kekhawatiran baru tentang warisan impunitas lembaga.
Penyidikan dugaan penyelewengan dana negara di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) menjadi bukti paling baru yang menunjukkan bahwa militer kembali menguasai urusan sipil. Hal itu terjadi di tengah makin tergerusnya kewenangan KPK.
Keberatan TNI atas penangkapan Kepala Basarnas Panglima Marsekal TNI Henri Alfiandi dan ajudannya, Letkol Afri Budi Cahyanto, mendapat tanggapan masyarakat. Bergaung seruan agar polisi militer membiarkan kasus ini ditangani melalui jalur sipil.
Dua perwira militer aktif itu ditetapkan sebagai tersangka dalam penyelidikan awal, yang menurut Ketua KPK Firli Bahuri dilakukan dengan sepengetahuan militer.
Tetapi KPK kemudian tampak goyah di bawah tekanan TNI. Wakil Ketua Johanis Tanak lalu mengeluarkan permintaan maaf kepada publik karena menyebut para perwira sebagai tersangka. Permintaan maaf ia lakukan menyusul kedatangan Kapolri Marsekal Muda Agung Handoko dan sekelompok perwira militer ke kantor KPK di Jakarta.
Johanis kemudian mengatakan bahwa penyidik KPK telah "melakukan kesalahan dan lupa bahwa polisi militer harus terlibat saat penyidikan kasus korupsi yang melibatkan oknum militer".
Eksekutif KPK lainnya, Alexander Marwata, dilaporkan telah menerima karangan bunga berikut catatan yang isinya memberi selamat kepadanya karena masuk tanpa izin "ke halaman tetangga". Alex mengatakan dia tidak tahu siapa pengirimnya tetapi tetap menyampaikan terima kasih.
Dalam jumpa pers bersama pada Senin dengan Kapolri Agung di Markas Besar TNI di Jakarta Timur, Firli Ketua KPK menganggap sepele soal pengiriman bunga. Namun ia katakan bahwa pihaknya telah meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melacak si pengirim.
Agung mengatakan TNI akan bekerja sama dengan KPK untuk mengusut kasus Basarnas. Lembaganya sempat keberatan dengan penetapan tersangka oleh KPK pada Jumat. Namun belakangan, dalam acara pengarahan Senin, dia umumkan bahwa polisi militer juga menetapkan kedua perwira sebagai tersangka.
Pada Senin, Alexander dari KPK mengatakan bahwa yang penting semua pelanggar hukum ditindak tegas, siapa pun itu. “Saya juga yakin TNI tidak akan bertindak gegabah mengingat hal ini sudah menjadi pemberitaan. Masyarakat sudah sangat mengetahui dan mengikuti perkembangan kasus tersebut,” ujarnya kepada wartawan.
Kekhawatiran yang berkembang
Perselisihan yurisdiksi telah memicu kembali ketegangan yang muncul sejak 2021. Saat itu, keluar surat edaran, dikirim oleh Panglima TNI Andika Perkasa, yang menegaskan bahwa seorang komandan harus diberitahu sebelumnya tentang upaya pemerintah untuk memanggil prajuritnya. Ditetapkan juga bahwa semua proses interogasi harus dilakukan di hadapan pengacara militer.
Henri, tersangka utama dalam kasus ini, berusaha membela tindakannya. Dia dituduh menerima imbalan bisnis setelah memberi tender proyek pengadaan Basarnas dari 2021 hingga 2023. Nilai total proyek sekitar Rp88,3 miliar ($5,9 juta dolar Amerika).
Namun pada Kamis, dia berdalih uang itu digunakan untuk kepentingan kantor, bukan untuk kepentingan pribadi. “Saya bukan malaikat, jadi semuanya tercatat [oleh Afri],” ujarnya kepada wartawan.
Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), mendesak KPK untuk terus mengusut kasus tersebut. “Tidak ada ruang untuk ancaman di era kita sekarang ini, apalagi terkait kekerasan dan impunitas,” katanya.
Mochamad Praswad Nugraha dari IM57+, sebuah kelompok pengawas antikorupsi yang dibentuk oleh mantan pegawai KPK, mengatakan bahwa anggapan soal personel militer yang ditempatkan pada pos nonmiliter hanya dapat diadili oleh militer adalah salah dan tidak kredibel. Ia juga menyarankan agar UU Peradilan Militer 1997 direvisi untuk memberikan kepastian yurisdiksi bagi tuntutan hukum pada personel militer. “Jika tidak, artinya tidak ada kesetaraan di hadapan hukum,” kata Praswad kepada The Jakarta Post.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah mengeluarkan pernyataan tentang perbedaan pendapat tersebut, dan mengatakan akan melakukan evaluasi “masalah koordinasi”.
Menanggapi pertanyaan wartawan apakah penugasan personel militer pada pos-pos nonmiliter juga akan dievaluasi, Presiden mengatakan bahwa pemeriksaan akan menjangkau banyak hal. “Semuanya akan kita evaluasi, karena kita tidak ingin korupsi terjadi di pos-pos strategis lainnya,” kata Jokowi di Jakarta, Senin kemarin.
Kasus ini bertepatan dengan makin nyatanya kebangkitan keterlibatan personel militer dalam peran sipil. Tren ini terjadi di bawah pemerintahan Jokowi dan telah menimbulkan keprihatinan, mengingat sejarah campur tangan TNI dalam urusan politik yang tidak baik di masa silam.
Kompas.com melaporkan bahwa TNI sedang dalam proses menyusun RUU untuk merevisi UU TNI tahun 2004 sehingga perwira militer dapat menjabat di salah satu dari 18 lembaga pemerintah.
Menurut Pasal 42 undang-undang yang berlaku saat ini, anggota militer dapat ditempatkan di salah satu dari 10 lembaga nonmiliter, termasuk Basarnas, Mahkamah Agung, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). (tjs
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.