Baterai LFP membuat pasar baterai berbasis nikel menyusut.
ndonesia mungkin perlu menemukan strategi yang berbeda untuk mencapai aspirasinya dalam mengembangkan industri hilir nikel. Menurut beberapa ahli, hal itu perlu dilakukan karena industri kendaraan listrik (electric vehicle atau EV) sedang mencari alternatif lain untuk baterai, selain logam nikel yang berlimpah di negara ini.
Andry Satrio Nugroho, ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan kepada The Jakarta Post pada Selasa lalu bahwa memikirkan kembali kebijakan hilirisasi menjadi semakin penting. Alasannya, terdapat pergeseran dari baterai kendaraan listrik berbasis nikel ke baterai lithium iron phosphate (LFP). LFP diperkirakan akan mendapatkan momentum di pasar yang berubah dengan cepat. "Hal pertama yang harus kita lakukan adalah memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi baterai EV. Jika kita hanya dapat melakukannya dalam 10 tahun, kita tidak akan dapat memasok pasar dan pasar juga akan berubah pada saat itu," katanya.
Jenis katoda yang paling umum pada baterai EV saat ini mengandung nikel, mangan, dan kobalt (NMC) serta lithium. Baterai semacam itu biasanya disebut sebagai baterai NMC. Sementara itu, baterai LFP yang relatif baru memiliki katoda besi, sehingga membuat biaya produksinya sekitar 20 persen lebih murah daripada baterai NMC. Teknologi alternatif ini dilatarbelakangi oleh fluktuasi harga nikel dalam beberapa tahun terakhir.
Perusahaan riset pasar Power Technology Research (PTR) memproyeksikan bahwa baterai LFP akan menguasai lebih dari 50 persen pasar pada 2025. Artinya, akan mengalahkan baterai NMC yang memiliki sekitar 70 persen pangsa pasar pada 2021.
Temuan laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) tahun lalu menyatakan bahwa masih belum dapat dipastikan apakah baterai nikel akan mendominasi pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia. Hal itu terlepas dari cadangan nikel Indonesia yang sangat besar. Laporan tersebut juga mencatat bahwa tiga perempat dari kendaraan listrik yang dijual di Indonesia pada 2022 tidak menggunakan baterai nikel, namun lebih memilih baterai yang lebih murah dan berbahan dasar besi.
Andry dari INDEF mengatakan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan untuk mengembangkan produksi baja antikarat di dalam negeri mengingat melimpahnya smelter rotary kiln electric furnace (RKEF) di Indonesia. RKEF digunakan untuk memproduksi nickel pig iron (NPI) dan feronikel, yang merupakan komponen utama dari paduan tersebut. Namun, pada kenyaataannya, sebagian besar NPI dan feronikel negara ini diekspor. "Jika kita bertujuan untuk pengembangan industri hilir, selanjutnya adalah membangun infrastruktur baja antikarat dalam negeri," kata Andry.
Energy Shift Institute, sebuah lembaga think tank bidang keuangan energi, melaporkan bahwa diperkirakan Indonesia akan memproduksi kurang dari 0,4 persen dari total energi baterai EV di dunia tahun ini. Menurut lembaga tersebut, angka itu akan dapat bertahan hingga setidaknya sampai 2030.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.