Saat ini, semua perhatian terpusat pada Mahkamah Konsitusi (MK), menjelang keluarnya keputusan mengenai persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang akan diumumkan pada hari Senin. Para kritikus telah meminta MK menolak petisi yang mendasari keputusan tersebut, dengan alasan khawatir akan adanya pelanggaran hukum.
Senin pagi, MK akan mengumumkan keputusan yang dapat membentuk ulang aliansi politik menjelang pemilu bulan Februari.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang kini diketuai oleh putra bungsu Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Kaesang Pangarep, menjadi salah satu pemohon petisi. PSI meminta pengadilan menurunkan batas usia minimum calon presiden dan calon wakil presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun. Alasan yang diajukan PSI adalah bahwa batasan usia yang ada bersifat diskriminatif. Terdapat petisi lain yang berupaya mempertahankan persyaratan batas usia minimum yang berlaku saat ini, namun dengan tambahan persyaratan pengecualian, yaitu terbuka bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Para pengamat telah meminta MK untuk menolak petisi tersebut. Alasannya, MK tidak punya yurisdiksi atas batasan usia, dan bahwa masalah ini sebaiknya dibicarakan antara pembuat undang-undang dan pembuat kebijakan pemerintah.
“[Batasan usia] tidak ada hubungannya dengan Konstitusi. Hal tersebut merupakan kewenangan pembuat undang-undang untuk mengambil keputusan,” kata Violla Reininda dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada The Jakarta Post, hari Minggu (15 Oktober).
Keputusan yang memenangkan para pemohon, lanjutnya, akan merusak kredibilitas MK. Terutama karena jika petisi dikabulkan, artinya membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Wali Kota Surakarta yang berusia 36 tahun, Gibran Rakabumi Raka, untuk diangkat menjadi calon wakil presiden. “Kita tidak akan membiarkan MK menjadi instrumen bagi sebagian orang untuk mengubah undang-undang secara instan demi kepentingan politik mereka,” kata Violla.
Pakar hukum tata negara Feri Amsari mengatakan bahwa dia prihatin dengan potensi pelanggaran hukum yang terjadi jika petisi dikabulkan. Lebih lanjut, ia katakan bahwa pengadilan tidak boleh menangani masalah yang menjadi kewenangan anggota parlemen.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.