TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Pemilu tenteram di dunia maya

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, March 20, 2023

Share This Article

Change Size

Pemilu tenteram di dunia maya While it may not be our first internet-heavy election, there is growing concern that the upcoming “celebration of democracy” will be less free and, thus, less fair, following the release of a bleak report by internet freedom watchdog SafeNet. (Reuters/Kacper Pempel)
Read in English
Indonesia Decides

Pemilihan umum 2024 bukan yang pertama kali melibatkan kampanye daring. Para kandidat pemilu sebelumnya telah melakukannya untuk menjangkau para pemilih. Para pemegang hak pilih pun telah memanfaatkan media sosial untuk mencermati calon wakil mereka sekaligus memperdebatkan program-program kerja yang dipamerkan calon wakil rakyat tersebut.  

Meski bukan yang pertama dunia maya Indonesia gegap gempita berkat pemilu, ada kekhawatiran bahwa pesta demokrasi mendatang menjadi kurang bebas sekaligus kurang adil. Kecemasan tersebut timbul setelah pengawas internet SafeNet merilis laporannya.

Laporan yang terbit bulan lalu tersebut menyoroti adanya tren peningkatan serangan igital terhadap akun-akun yang kerap mengkritisi pemerintah. Tidak pandang bulu, serangan ditujukan pada jurnalis, aktivis, organisasi media, dan kelompok masyarakat umum. Catatan SafeNet menunjukkan bahwa pada 2022 terdapat 302 serangan digital pada sekitar 55 aktivis dan 50 pekerja media. Sementara pada 2020 hanya ada 147 kejadian. 

Sebagai besar serangan diyakini bernuansa politis. Karena itu, SafeNet meramalkan bahwa akan semakin banyak serangan serupa menjelang Pemilu 2024.

Memang, dunia maya Indonesia tidak pernah menjadi ruang aman bagi semua orang. Berlakunya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2008 juga tidak menolong. Justru hukum dunia maya tersebut terkenal sebagai senjata guna menjebloskan banyak orang ke penjara karena pencemaran nama baik, hanya karena mengungkapkan pendapat mereka. Padahal, hak berpendapat dilindungi konstitusi.

Namun yang lebih bermasalah dari UU ITE itu sendiri adalah proses perancangan kekuasaan yang memungkinkan pengesahan undang-undang sekaligus melanggengkan penggunaannya. Selama beberapa dekade, undang-undang dimanfaatkan oleh pihak yang berkuasa untuk membungkam kritik, termasuk pendapat lawan politik mereka, selama periode kampanye dan pemilihan. Karenanya, beberapa kelompok masyarakat sipil berkali-kali mengajukan agar hukum yang kejam tersebut dicabut.

UU ITE tetap menjadi alat represi yang efektif. Namun, mengingat ketenarannya, tidak mengherankan jika para elit politik telah membawa bentuk represi lain, termasuk taktik sensor informal seperti serangan pada akun media digital, untuk mencapai tujuan yang sama.

Dalam beberapa tahun terakhir, seperti yang dicatat oleh SafeNet, tampak banyak kasus serangan digital tak bertanggung jawab terhadap orang-orang yang mengkritisi kebijakan pemerintah. Bentuk lebih luas dari tekanan digital termasuk peretasan akun media sosial pribadi, email atau rekening bank; penyadapan; pengelabuan; doxing; serangan DDoS; dan banyak metode curang lainnya.

Serangan yang meningkat pada organisasi media sangat memprihatinkan. Serangan di dunia maya jelas bertujuan membungkam kebebasan berbicara. Akibatnya bisa lebih merusak daripada UU ITE, karena bagaimana pun, lebih sulit melawan musuh yang tak kasat mata.

Para pemilik akun korban serangan digital telah melaporkan kasus mereka ke polisi, tetapi sejauh ini belum ada kasus yang diselesaikan. Akibatnya, muncul spekulasi bahwa ada keterlibatan pejabat, atau bahkan lembaga negara, dalam serangan digital tersebut.

Sangat sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas serangan tersebut, mengingat sifatnya yang anonym. Fakta lain adalah bahwa serangan tersebut bersifat sporadis dan tidak selalu jelas-jelas mewakili kepentingan rezim politik saat ini.

Wajar jika ada yang khawatir seandainya beberapa anggota elit politik akan mempekerjakan peretas bayaran demi kepentingan mereka di Pemilu 2024. Cara yang sama sudah pernah digunakan untuk menyerang oposan, yaitu membayar pasukan yang bergiat di media sosial untuk menyerang lawan mereka. Jika hal tersebut terjadi, konflik antarelit yang semakin intensif menjelang pemilihan umum 2024 dapat menyebabkan lebih banyak insiden kejahatan dunia maya yang bermotif politik.

Pemerintah berkewajiban memastikan bahwa pemilu yang akan datang, daring maupun luring, berjalan damai. Namun ada keraguan bahwa pemerintah punya kapasitas, atau sekadar kemauan, untuk mengatasi pelanggaran yang terjadi di dunia maya dengan tepat.

Karena itu, sebaiknya warga negara yang terlibat secara politik mulai bersiap bertindak untuk menjaga keamanan dan keselamatan masing-masing di dunia digital.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.