ertemuan bilateral antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pekan lalu menandai hubungan baru yang lebih komprehensif antarnegara. Mereka mengumumkan ratifikasi tiga perjanjian yang telah tertunda cukup lama, dengan dua perjanjian yang secara politik cukup sensitif bagi Indonesia.
Melalui ratifikasi tersebut, kedua pemimpin telah meletakkan fondasi kuat untuk hubungan bilateral kedua negara bertetangga di ASEAN tersebut di masa depan, siapa pun yang akan meneruskan tampuk pemerintahan.
Memang sudah bisa dipastikan bahwa pemerintahan Singapura setelah PM Lee akan diampu oleh Wakil Perdana Menteri dan juga Menteri Keuangan saat ini, Lawrence Wong. Prediksi tersebut bisa meleset hanya jika The People’s Action Party (PAP) yang berkuasa ternyata kalah secara mengejutkan atau perolehan suaranya turun secara signifikan dalam Pemilihan Umum Singapura 2025. Sementara di Indonesia, presiden yang baru akan dipilih pada Februari dan dilantik pada Oktober 2024.
Pada Januari 2022, di Bintan, kedua kepala negara telah menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan (atau DCA, Defense Cooperation Agreement), kesepakatan perbatasan antara FIR (Flight Information Region atau batas pelayanan udara) Jakarta dan FIR Singapura, serta perjanjian ekstradisi. Ratifikasi tiga perjanjian tersebut berlangsung mulus. Bagi Indonesia, kesepakatan ekstradisi yang selama ini dinanti akan memfasilitasi pemulangan sejumlah napi korupsi yang kedapatan bersembunyi di Singapura. Tentu aset haram mereka akan bisa dibawa pulang juga.
Negosiasi DCA telah memicu perdebatan sengit di negeri ini. Beberapa orang, didorong sentimen nasionalis, percaya bahwa skema kerjasama pertahanan berpotensi menekan kedaulatan Indonesia karena membiarkan militer Singapura berlatih di tanah air Indonesia. Sedangkan perjanjian terkait FIR selama beberapa dekade dianggap sebagai bentuk kontrol Singapura atas kawasan udara Indonesia.
Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah Indonesia dan Singapura pernah menandatangani DCA dan perjanjian ekstradisi. Namun perjanjian tak berlanjut setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2007 menolak meratifikasi DCA dengan alasan dianggap melanggar integritas wilayah Indonesia.
Bahwa DPR akhirnya meratifikasi DCA yang secara politik cukup sensitif hanyalah bukti perlunya negosiasi yang tujuannya timbal balik, saling memberi dan saling menerima. Pertimbangan utama negosiasi adalah keuntungan kedua belah pihak. DPR layak mendapat pujian atas ratifikasi tersebut, khususnya karena para pembuat undang-undang mengakui pentingnya perjanjian tersebut bagi Indonesia dan Singapura.
Hanya, cukup mengejutkan bahwa proses ratifikasi DCA dan perjanjian ekstradisi yang berlangsung di DPR sempat luput dari perhatian. Media massa hanya satu kali melaporkan adanya dengar pendapat antara Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan DPR terkait DCA. Media juga tidak mengetahui Presiden Jokowi telah menandatangani surat keputusan tentang FIR.
Seperti dijelaskan oleh PM Lee, Singapura dan Indonesia telah bersama-sama mengajukan permohonan persetujuan pada Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (atau International Civil Aviation Organization, ICAO) atas pengaturan baru ruang layanan udara. Menyusul persetujuan ICAO, Indonesia dan Singapura akan bertemu untuk menetapkan tanggal pelaksanaan penataan kembali FIR tersebut.
Di bawah pengaturan FIR yang baru, Indonesia akan mengambil alih ruang udara seluas 249.575 kilometer persegi di atas Kepulauan Riau dan Natuna dari Singapura. Sebagai balasan, Indonesia akan menyediakan layanan navigasi udara di sebagian wilayah udara Singapura. Perjanjian ini berlaku selama 25 tahun dan dapat diperpanjang jika ada kesepakatan bersama.
Terlepas dari perjanjian-perjanjian yang diratifikasi, proyek relokasi ibu kota Nusantara yang digagas Presiden Jokowi dan upaya ASEAN untuk memulihkan perdamaian di Myanmar juga menjadi materi pembicaraan dalam pertemuan tahunan di Istana PM Singapura tersebut. Sebagai ketua ASEAN tahun ini, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing tidak punya pilihan selain mematuhi lima poin konsensus yang sudah ia sepakati saat KTT darurat ASEAN di Jakarta pada April 2021. PM Lee juga tetap konsisten menuntut junta untuk menghormati konsensus.
Secara tegas, kedua pemimpin telah menekan junta untuk merealisasikan konsensus yang sudah ia sepakati. Jika tidak, pintu pertemuan ASEAN akan selalu tertutup rapat bagi perwakilannya.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.