nsiden antara kapal perang China dan Amerika Serikat minggu lalu di Laut China Selatan membuktikan bahwa semua pihak tidak hanya harus menahan diri tapi juga perlu berperan aktif sebagai juru damai. Indonesia adalah contoh yang baik.
Mengutip media pemerintah China, Al-Jazeera menggambarkan kapal-kapal AS telah melanggar perairan teritorial China. AS menanggapi dengan mengatakan bahwa militernya akan terus terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan.
Sebelumnya, militer AS menuduh ada pilot pesawat tempur China yang terlibat dalam manuver berisiko di atas laut. Pilot itu terbang hanya berjarak 20 kaki dari hidung pesawat Angkatan Udara AS. China telah lama mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan sebagai wilayah kekuasaannya. Namun pada Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim China tidak berdasar.
Cekcok Indonesia dan China soal Laut Natuna Utara sudah berlangsung lama. China selalu mengatakan bahwa selama ribuan tahun, nelayan tradisional China mencari ikan di wilayah laut tersebut. Beijing juga memprotes eksplorasi gas Indonesia di sana, padahal eksplorasi tersebut sah berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS) 1982.
Namun ada beberapa alasan Indonesia tetap dapat menjadi juru damai meski di satu sisi menghadapi perselisihan.
Pertama, dalam kapasitas Indonesia sebagai pemimpin ASEAN, awal bulan ini Indonesia berhasil memecahkan kebuntuan bertahun-tahun yang terjadi antara blok regional dan China terkait Kode Etik (Code of Conduct atau CoC) Laut China Selatan. Meskipun tidak mengikat secara hukum, CoC tetap penting sebagai landasan untuk mencegah dan mengurangi risiko bentrokan terbuka antara beberapa negara, karena beberapa bagian Laut China Selatan diklaim juga oleh Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.
Baru-baru ini, digelar pertemuan membahas CoC di antara pejabat senior. Pertemuan diselenggarakan secara tertutup di Jakarta. Setelahnya, ada indikasi kuat bahwa kemajuan yang berarti sulit dicapai, tergantung pada peran China, dan bukan peran ASEAN, dalam negosiasi.
Meski demikian, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, pertemuan menghasilkan beberapa kesepakatan. Namun, The Jakarta Post mengutip seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia yang mengakui bahwa “China masih belum dapat memberikan tenggat waktu jelas soal penyelesaian CoC dan masih banyak yang belum disepakati dalam pembicaraan terakhir”.
Semoga dengan dilanjutkannya negosiasi, tepat pada waktunya kedua pihak bisa menunjukkan kemauan kuat untuk memutuskan finalisasi CoC yang telah dinanti-nanti.
Kedua, Indonesia dan Vietnam telah membuktikan bahwa betapa pun rumitnya, selalu ada jalan damai untuk menyelesaikan konflik.
Pada bulan Desember, setelah pertemuan bilateral di Jakarta antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan presiden Vietnam saat itu Nguyen Xuan Phuc, kedua pemerintah menandatangani perjanjian bersejarah untuk membatasi zona ekonomi eksklusif (ZEE) sesuai UNCLOS. Perjanjian batas ZEE ini menandai akhir dari diskusi panjang selama 12 tahun.
Pada 2003, Indonesia dan Vietnam telah menyepakati batas luar kepulauan mereka, setelah melalui beberapa diskusi bilateral dalam beberapa dekade. Pasalnya, nelayan kedua negara bertetangga di ASEAN tersebut kerap berseteru di wilayah yang jadi sumber friksi.
Indonesia dan Vietnam berhasil memberi contoh baik. Bagaimanapun, tidak mungkin terjadi kompromi jika pihak yang berselisih tidak punya kemauan politik kuat untuk mencapai solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Jadi, jika ada niat damai dari ASEAN dan China, selalu ada jalan tengah yang bisa diambil.
Harus diingat bahwa sengketa wilayah tidak terbatas hanya pada Laut Cina Selatan, atau dalam kasus Indonesia, pada Laut Natuna Utara. Selat Malaka, misalnya. Setelah protes internasional besar-besaran, Indonesia meluncurkan operasi antipembajakan di sana. Akhirnya, keamanan maritim lokal terjaga hingga saat ini.
Indonesia, Malaysia, dan Singapura adalah negara pesisir yang lokasinya di salah satu jalur laut tersibuk di dunia. Selat Malaka langsung terhubung dengan Laut Cina Selatan. Setiap tahun, sekitar 90.000 kapal melewatinya. 40 persen dari kapal-kapal tersebut dilaporkan mengangkut materi perdagangan global.
Meski berulang kali terlibat perselisihan dengan China terkait Laut Natuna Utara, Indonesia, sebagai anggota terbesar ASEAN, telah menunjukkan komitmen menjaga perdamaian dan berperan sebagai juru damai di Laut China Selatan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.