ndonesia tidak akan pernah menjadi negara sepak bola hebat karena begitulah maunya pemerintah dan politisi kita. Padahal kita bisa menjadi yang nomor satu, dan ada aspirasi kuat di masyarakat untuk bisa menyaksikan Indonesia sejajar dengan negara sepak bola terbaik dunia seperti Brasil, Argentina, Jerman, dan Italia. Kita toh tak kekurangan bakat. Sebagai negara terpadat keempat di dunia, dengan populasi 280 juta orang, kita tidak kekurangan sumber daya.
Kekalahan kita -atau perjuangan sia-sia kita, lebih tepatnya – dalam upaya menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2023 kurang dari dua bulan menjelang perhelatannya, menunjukkan bahwa keinginan kita menjadi negara sepak bola yang hebat harus mengalah terhadap keputusan-keputusan para politisi yang selalu dianggap lebih penting.
Piala Dunia U-20 sebetulnya bisa saja tetap berlangsung meski ada keberatan dari beberapa kalangan atas partisipasi Israel. Namun, pekan lalu, FIFA sudah memutuskan memindahkan pertandingan ke Argentina setelah beberapa politisi senior di Indonesia menyuarakan keberatan mereka menjamu tim nasional Israel.
Saat Gubernur I Wayan Koster dari Bali dan Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah secara terbuka menyatakan keberatan mereka menjadi tuan rumah bagi tim nasional Israel, mereka seketika mengubah turnamen menjadi sepak bola politik. Keduanya adalah anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang saat ini mendominasi kursi legislatif, dan Ganjar disebut-sebut merupakan salah satu bakal calon presiden 2024.
Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Israel. Sejak dulu, Indonesia adalah pendukung setia kemerdekaan tanah Palestina. Fakta inilah yang diajukan oleh para penentang tim nasional Israel. Tapi, terlalu naif untuk meminta FiFA mencoret tim Israel yang telah lolos kualifikasi awal demi mengakomodasi pendapat para penentang tersebut.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo secara aktif ikut melakukan pendekatan pada FIFA agar Indonesia bisa menjadi tuan rumah turnamen. Setelah insiden mematikan dalam ajang sepakbola di Jawa timur, Oktober lalu, Presiden bahkan secara pribadi melakukan intervensi, meyakinkan FIFA bahwa Indonesia akan memperbaiki stadion agar memenuhi standar keamanan internasional. Entah mengapa ia membiarkan situasi menjadi seperti sekarang, karena dia pun anggota PDIP. Seandainya Presiden membagi aspirasinya agar Indonesia menjadi negara sepak bola yang hebat, seharusnya dia bisa menyelamatkan penyelenggaraan turnamen U-20.
Sekarang Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) mengatakan Indonesia harus bersiap menghadapi sanksi keras karena telah menyebabkan FIFA mengalihkan turnamen ke negara lain pada saat-saat terakhir. Sebenarnya kita pernah merasakan hal serupa di masa lalu. Betapa menyakitkan.
Pada 2015, FIFA menangguhkan keanggotaan Indonesia atas dugaan intervensi pemerintah di PSSI. Sanksi bagi Indonesia adalah larangan mengikuti semua kegiatan di bawah naungan FIFA dan Konfederasi Sepak Bola Asia (Asian Football Confederation). Seluruh liga nasional juga dibatalkan. Sanksi memang hanya berlangsung setahun lebih, tapi efeknya abadi di dunia sepak bola Indonesia.
Indonesia perlahan-lahan mendaki peringkat FIFA menjadi 151 di 2022, setelah pernah di peringkat 179 pada 2015. Tetap masih jauh dari peringkat terbaik yang pernah kita raih dalam sejarah, yaitu ke-76. Setelah blunder Piala Dunia U-20 tahun ini dan kemungkinan sanksi FIFA, bisa dipastikan peringkat kita akan merosot. Padahal kita pun tak pernah berhasil masuk lima besar di antara 11 negara Asia Tenggara.
Sukarno bisa bangkit dari kubur karena namanya berulang kali disebut oleh Ganjar dan Koster, yang meminjam nama besar Presiden pertama RI tersebut untuk menentang kehadiran Israel di turnamen Piala Dunia U-20 2023. Sukarno memang pendukung kuat hak kemerdekaan Palestina sejak 1950-an.
Sesungguhnya, zaman telah berganti. Indonesia juga telah berubah selama kurun waktu 70 tahun terakhir, meskipun Palestina masih tetap di bawah pendudukan Israel. Presiden Jokowi telah menegaskan, dengan menjadi tuan rumah ajang U-20, bukan berarti Indonesia tidak lagi mendukung kemerdekaan rakyat Palestina.
Kondisi yang ada saat ini, Indonesia merupakan negara berpenghasilan menengah yang ingin berperan besar di semua bidang di dunia. Kita ingin maju dalam politik, ekonomi, seni, budaya, dan olah raga, termasuk sepak bola.
Jika masih hidup, Sukarno yang terkenal selalu punya visi besar untuk Indonesia pasti setuju dengan aspirasi tersebut.
Sayangnya, sebesar apa pun cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi negara sepak bola yang hebat, cita-cita itu hanya akan menjadi mimpi di siang bolong selama tidak ada dukungan dari politisi kita.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.