angat memprihatinkan bahwa kondisi ruang sipil di Indonesia terus menurun di era pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Meskipun mungkin tidak bertujuan menjadi negara dengan demokrasi liberal, tetap saja beragam tekanan pada kebebasan sipil tidak boleh ditoleransi.
The Economist Intelligence Unit (EIU), yang menganalisis kualitas demokrasi secara global, secara konsisten menyebut Indonesia sebagai “negara dengan demokrasi yang cacat”. Dalam laporannya pada 2022, peringkat Indonesia turun menjadi 54 dalam indeks demokrasi global, setelah sebelumnya di peringkat 52. Rata-rata skor global adalah 6,71. Indonesia mendapat skor 6,14 untuk komitmen terhadap kebebasan sipil, lebih rendah jika dibandingkan dengan Filipina yang mendapat 7,35.
Indeks demokrasi kita boleh saja naik turun selama lima tahun terakhir. Namun, secara keseluruhan, harus diakui bahwa demokrasi kita kacau. Para ilmuwan bidang politik bisa saja menunjukkan sejumlah faktor untuk menjelaskan alasan akademis di balik kondisi demokrasi yang demikian, akan tetapi yang kita rasakan sebagai masyarakat adalah ruang sipil kita yang semakin menyempit. Buktinya, kita ikut merasa tertekan melihat serangkaian intimidasi, baik dari segi hukum maupun secara fisik, terhadap pembela hak asasi manusia.
Baru-baru ini, dua pembela HAM yang cukup terkenal, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, didakwa mencemarkan nama baik menteri senior Luhut Binsar Pandjaitan. Haris dan Fatia mengeluarkan video YouTube yang menyoroti aktivitas pertambangan yang kontroversial, juga video yang menggambarkan meningkatnya aktivitas militer di wilayah dataran tinggi Papua.
Mereka dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) 2016, UU yang saat ini sedang dalam proses diubah berkat protes publik atas ketentuannya yang kejam. UU tersebut sering digunakan oleh negara untuk membungkam kritik di dunia maya, khususnya dari para pembela HAM. Padahal para pembela HAM ini didefinisikan oleh PBB sebagai mereka yang “mencari dukungan dan perlindungan atas hak-hak sipil dan politik juga mencari dukungan, perlindungan, serta realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya”.
Patut dicatat, kasus Haris dan Fatia mungkin lebih menarik perhatian publik karena keduanya berbasis di ibu kota. Di daerah, situasi lebih buruk bisa menimpa pembela HAM yang kurang terkenal.
Amnesty International Indonesia mencatat, dari Januari 2019 hingga Mei 2022, setidaknya terdapat 328 kasus kekerasan fisik dan perundungan digital terhadap kurang lebih 834 orang yang dapat disebut sebagai pembela HAM. Dari jumlah tersebut, 13 merupakan kasus percobaan pembunuhan dan ancaman penghilangan nyawa terhadap 17 pembela HAM. Sebagian besar kasus berakhir dengan para penegak hukum gagal menyeret pelakunya ke pengadilan, yang memperpanjang daftar impunitas di Indonesia.
Pada Januari 2019, kediaman Murdani, Direktur Eksekutif Walhi NTB, dibakar massa. Penyelidikan Amnesty International Indonesia menemukan adanya sekelompok orang yang membakar bantal yang dibasahi bensin. Bantal sengaja dibakar di bawah mobil Murdani yang diparkir di samping rumahnya. Orang-orang tersebut juga membakar dua pintu rumah untuk mencegah semua penghuni melarikan diri.
Sebelum kejadian, Murdani kerap membantu advokasi hak-hak petani setempat dengan menentang kegiatan penambangan pasir di desa mereka. Pada 2016, ia pernah menerima ancaman lewat pesan pendek: "Jika Anda ingin hidup, berhenti ikut campur dalam bisnis tambang pasir."
Di Banyuwangi, Jawa Timur, seorang aktivis lingkungan baru-baru ini dijebloskan ke penjara setelah dinyatakan bersalah atas tuduhan menyebarkan komunisme. Aktivis tersebut, Budi Pego, ditangkap usai menggelar unjuk rasa memprotes kegiatan penambangan emas di Desa Sumberagung. Saat demonstrasi, sekelompok penyusup diduga memasang spanduk bersimbol palu arit.
Kejadian-kejadian tersebut butuh perhatian kita. Apalagi karena kita semua paham bahwa para pembela HAM hanya berusaha melindungi hak rakyat atas lingkungan yang aman dan sehat. Demokrasi sejati tak akan pernah membiarkan keadaan memprihatinkan macam itu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.