TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Apakah apartheid Israel hilang?

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, April 14, 2023

Share This Article

Change Size

Apakah apartheid Israel hilang? Palestinians hurl rocks at an Israeli army bulldozer, during confrontations in the occupied-West Bank city of Jenin, on Jan. 26. The Israeli raid on the West Bank’s Jenin refugee camp killed nine Palestinians including an elderly woman, Palestinian officials said, also accusing the army of using tear gas inside a hospital. (AFP/Zain Jaafar)
Read in English

K

ini kita semua tahu bahwa tidak ada apa pun, termasuk kecaman internasional, yang bisa memaksa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh pasukannya terhadap jamaah muslim yang berdoa di dalam Masjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Meski demikian, Netanyahu tetap merespon. Pekan lalu, ia melarang pengunjung nonmuslim masuk ke kompleks masjid, yang juga berisi makam-makam yang dianggap suci oleh orang Yahudi. Larangan akan berlangsung hingga akhir bulan Ramadan, yaitu pada 20 April, dan dikeluarkan setelah serangkaian serangan roket diluncurkan terhadap Israel. Kali ini, serangan tidak hanya dari Gaza seperti biasanya, tapi juga dari selatan Lebanon dan Suriah. Artinya ada penangguhan perang, meski sesaat. Muslim Palestina dapat berdoa dengan tenang di Al-Aqsa selama sisa Ramadan. Apa yang terjadi setelahnya, kita tunggu saja.

Sekarang kita juga paham, kekerasan akan memancing kekerasan lain. Inilah yang terjadi di negara Yahudi yang dibangun di atas wilayah Palestina yang terus menyusut, dengan permukiman Yahudi yang terus berkembang. Namun, sebrutal apa pun pasukan pendudukan militer Israel bergerak, tidak ada bangsa yang akan tinggal diam dan tak melawan ketika terancam haknya untuk hidup layak.

Dengan tidak adanya harapan damai, sesekali melakukan kekerasan jadi satu-satunya cara bagi sebagian warga Palestina untuk bertahan hidup sekaligus menjaga martabat mereka, meski ujungnya tetap kehilangan nyawa. Dan bagi pasukan pertahanan Israel, tak ada cara lain untuk menaklukkan sebuah negara pendudukan selain dengan bertindak makin brutal. Ini semacam siklus yang tidak akan pernah putus.

Tahun lalu, Amnesty International mengecam pemerintahan Israel yang ada di wilayah Palestina sebagai “sistem apartheid” yang kontradiktif karena diskriminasi diberlakukan juga untuk warga negara Israel. Mengacu pada pengalaman di Afrika Selatan dengan aturan "hanya kulit putih", kontradiksi di Israel cepat atau lambat akan terbuka dan menggeroti seluruh negeri.

Kita sudah melihat bibit-bibitnya dalam bentuk demonstrasi besar-besaran memprotes reformasi peradilan yang direncanakan Netanyahu, yang terjadi hampir tiap hari di Tel Aviv. Jika disahkan, rancangan undang-undang peradilan ini akan memberi pemerintah kendali penuh atas penunjukan hakim Mahkamah Agung dan memungkinkan parlemen membatalkan banyak keputusan pengadilan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Reformasi peradilan akan menghilangkan mekanisme demokrasi check and balances yang masih tersisa di dalam pemerintahan. Bagi keberadaan Israel, kehilangan mekanisme demokrasi akan menjadi ancaman yang lebih mengerikan jika dibandingkan dengan kekerasan dari masyarakat Palestina.

Berlakunya reformasi peradilan akan memberi kekuatan lebih besar lagi pada pemerintah untuk melawan warga Palestina di daerah pendudukan sekaligus melawan seluruh warga Israel. Lupakan kebebasan jika tinggal di negara diktator.

Adalah sebuah ironi bahwa Netanyahu dipilih kembali sebagai perdana menteri untuk keenam kalinya, pada November lalu. Saat ini dia memimpin pemerintahan yang disebut berhaluan paling kanan dalam sejarah Israel. Di dalamnya, terdapat koalisi yang terdiri dari partai-partai dengan agenda Zionis ekstrim. Perdamaian terasa makin jauh dengan partai koalisi menolak solusi dua negara yang telah diusulkan komunitas internasional. Partai justru menuntut kekuasaan penuh atas wilayah Tepi Barat.

Rencana reformasi peradilan Netanyahu memecah Israel. Mari kita tunggu dengan saksama perkembangan di Israel seraya berharap ada hal baik yang dihasilkan proses ini.

Semua tergantung masyarakat Israel. Mereka telah memilih pemerintah yang sekarang, mereka bisa juga menjatuhkannya. Namun, hal itu pun tak akan bisa mereka lakukan jika undang-undang reformasi peradilan disahkan. Netanyahu memimpin pemerintahan koalisi dengan kursi minoritas di parlemen. Kemungkinan akan ada pemilihan umum lebih cepat, dan jika memang terjadi pemilu lagi, rakyat Israel yang cinta damai mestinya tahu siapa yang harus mereka pilih.

Indonesia, dan komunitas internasional lainnya, tidak dapat berbuat banyak selain mengutuk setiap kekerasan dari Israel terhadap warga Palestina. Pemerintah Israel jarang menanggapi tekanan internasional, baik dari sayap kiri atau kanan. Sementara gagasan Netanyahu untuk menanggapi kekerasan dengan kekerasan hanya akan menyebabkan lebih banyak lagi duka, di sisi Israel maupun Palestina.

Ini saat rakyat Israel memutuskan model pemimpin yang layak untuk mereka.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.