TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Pengadilan konstitusi yang tidak konstitusional

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Mon, June 5, 2023

Share This Article

Change Size

Pengadilan konstitusi yang tidak konstitusional Anwar Usman (left) dan Saldi Isra congratulate each other after they were elected as Constitutional Court chief justice and deputy chief, respectively, in Jakarta on March 15, 2023, for the 2023-2028 period. The election was held internally by nine justices of the court. (Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Read in English

S

aat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) sedang disorot. MK sedang membahas petisi yang menuntut perubahan tata cara pemilihan dalam pemilu legislatif Februari mendatang. Cara memilih yang harus diputuskan adalah antara sistem tertutup atau terbuka. Dalam pemilu sistem terbuka, masyarakat langsung memilih kandidat, seperti yang dilakukan dalam empat pemilu terakhir sejak 2004. Sedang dalam pemilu sistem tertutup, masyarakat memberikan suara untuk partai politik. Cara terakhir terjadi pada enam pemilu selama pemerintahan diktator Presiden Soeharto.

Pekan lalu, mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana membuka fakta yang menarik perhatian publik terkait informasi yang ia sebut dikutip dari pihak internal MK. Dari Australia, tempat ia saat ini menjadi dosen tamu di bidang hukum, Denny mengklaim bahwa MK akan segera mengumumkan bahwa pemilu akan kembali ke sistem perwakilan proporsional tertutup yang lama. Artinya, masyarakat akan memilih partai.

Tidak ada bantahan apa pun dari MK. Seorang anggota masyarakat justru melaporkan Denny ke polisi karena "membocorkan dokumen rahasia negara", dan bukan karena memberikan informasi yang tidak benar. Denny bisa saja merencanakan sesuatu. Terlepas dari yang dia katakan benar atau tidak, kita harus mengawasi MK untuk memastikan lembaga tersebut tidak membuat keputusan yang salah.

MK harus ditantang untuk membuktikan bahwa perkataan Denny tidak tepat dengan menolak petisi yang mewakili kepentingan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Setidaknya ada tujuh partai lain di DPR yang secara terang-terangan menolak usulan sistem pemilu tertutup.

Tidak perlu dipikirkan mana dari kedua sistem ini yang lebih unggul. Pemilu sistem terbuka memberi pemilih kebebasan memilih wakil mereka di dewan legislatif nasional dan daerah. Pemilu sistem tertutup merampas kebebasan tersebut dari para pemilih, dan memberikannya pada para pemimpin partai politik.

Tidak ada sistem pemilu yang sempurna karena keduanya rentan tercemar “politik uang”. Pemilu sistem terbuka memang mendorong rakyat memilih sosok yang mereka kenal. Sedangkan sistem tertutup bisa sangat mengelabui pemilih, misalnya jika para partai mengajukan nama-nama populer sebagai kandidat sehingga masyarakat tertarik memilih mereka, tapi pada akhirnya bukan nama-nama itu yang menjadi anggota dewan.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Biasanya, kita biarkan pengadilan yang membahas dan memperdebatkan poin-poin konstitusional lalu memutuskan yang terbaik. Namun karena akhir-akhir ini MK sering membuat keputusan yang bertentangan dengan semangat demokrasi, perlu tekanan publik agar MK benar-benar membuat keputusan tepat untuk masalah sistem pemilu ini.

Sistem pemilu terlalu berharga untuk diserahkan kepada sembilan hakim yang sekarang bertugas, karena kepercayaan publik terhadap MK semakin menurun. Keputusan yang salah hanya akan meneguhkan kecurigaan bahwa MK telah menjadi alat penguasa, bukan badan independen seperti yang seharusnya.

Tidak ada contoh lain yang jelas-jelas menunjukkan keputusan ajaib MK selain saat bulan lalu memutuskan memperpanjang masa jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari empat tahun menjadi lima tahun. Alasan MK sangat tidak berdasar, yaitu bahwa sebagian besar masa jabatan ketua di lembaga negara lain juga lima tahun. Akankah MK memperpanjang masa jabatan dewan pers dari yang sekarang tiga tahun, atas nama kesamaan perlakuan?

Putusan itu berarti Ketua KPK Firli Bahuri akan memperpanjang masa jabatannya setahun lagi setelah Desember. Sedangkan dia sungguh tidak layak mendapatkan perpanjangan masa jabatan. Terlalu banyak laporan tentang pelanggaran etika yang diduga dilakukan Firli sejak menjabat. Di bawah kepemimpinannya, KPK telah menjadi lembaga tak bergigi, dan selalu pilih-pilih kasus sekadar untuk memuaskan penguasa.

Kepercayaan publik merosot sejak MK dipimpin oleh Anwar Usman, adik ipar Presiden Joko Widodo. Hubungan kekeluargaan tak pelak menimbulkan kecurigaan adanya konflik kepentingan dalam beberapa putusan MK.

Demonstrasi mahasiswa pada 1998 memimpin kekuatan rakyat untuk menjatuhkan tirani Soeharto. Ketika itu, seruan yang digaungkan adalah melawan korupsi, kolusi, dan nepotisme, atau KKN. Saat ini, lembaga-lembaga negara seperti KPK dan MK terlihat menjadi alat kekuasaan, menunjukkan bahwa masalah KKN muncul kembali.

Mungkin sekarang waktu yang tepat mengadakan demonstrasi anti-KKN lagi seperti pada 1998.

 

 

 

 

 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.