anajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mempercepat penyelidikan terkait dugaan yang beredar luas bahwa dua perusahaan konstruksi milik negara, PT Waskita Karya dan PT Wijaya Karya, yang terdaftar di pasar saham, telah membuat laporan keuangan tahunan yang tak sesuai kenyataan.
Saat ini, dua perusahaan tersebut dibebani utang besar. Perdagangan saham Waskita juga telah dihentikan. Penundaan klarifikasi berpotensi membuat masyarakat merasa bahwa dugaan laporan keuangan lancung tersebut benar adanya, yang pada akhirnya dapat merusak kepercayaan investor dan pihak pemberi pinjaman di BEI. Lebih-lebih karena penipuan laporan keuangan sudah seperti kebiasaan yang mengganggu.
Contoh kasus adalah grup Bakrie Brothers yang bergengsi dan tiga anak perusahaannya, yang semua terdaftar di BEI. Dalam laporan keuangan kuartal pertama 2010, mereka melaporkan adanya dana sebesar Rp9,05 triliun ($1 miliar dolar Amerika) dalam bentuk deposito di Bank Capital. Namun, laporan bank menunjukkan bahwa dana pihak ketiga yang tersedia hanya mencapai Rp2,02 triliun.
Setelah ada peringatan yang mengungkapkan ketidaksesuaian tersebut, laporan diperbaiki dan dianggap sebagai kesalahan ketik belaka. BEI hanya mendenda perusahaan Bakrie masing-masing sebesar Rp500 juta. Yang lebih membingungkan, Bank Indonesia, yang saat itu masih menjadi pengawas kebijakan mikroprudensial utama perbankan, menganggap adanya selisih Rp7 triliun hanya kesalahan biasa yang tidak berdampak pada kesehatan keuangan bank.
Skandal besar lainnya terjadi dalam laporan keuangan maskapai penerbangan nasional Garuda, pada 2018. Setelah investigasi, OJK menemukan Garuda bersalah atas rekayasa laporan keuangan dan memaksa perusahaan untuk memperbaiki dan membuat ulang laporan keuangan tahun 2018.
Setelah mengoreksi kesalahan akuntansi, laporan keuangan baru mencantumkan kerugian bersih sebesar $179 juta dolar Amerika. Artinya, sangat berbeda dari laba $800.000 yang ditulis dalam laporan yang sebelumnya. Atas kesalahan pembukuan sebesar itu, Garuda serta dewan direksi perusahaannya hanya didenda Rp1,25 miliar oleh OJK.
Masih pada pertengahan 2018, kesalahan laporan keuangan terjadi pada perusahaan jasa keuangan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan, yang menyesatkan investor dan kreditur. Akibat dari kesalahan laporan keuangan, bank dan investor mengalami kerugian sebesar Rp1,8 triliun. Lalu ada kecurangan terkait laporan keuangan beberapa perusahaan publik lainnya seperti PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan PT Hanson International.
Pada pertengahan 2020, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 13 perusahaan pengelola dana, seorang eksekutif OJK yang membidangi pengawasan pasar modal, dan direksi dua perusahaan terbuka sebagai tersangka dalam kasus penipuan di asuransi Jiwasraya.
Sangat menyesakkan dada bahwa hukuman yang dijatuhkan pada mereka yang terlibat dalam kecurangan laporan keungan dan kejahatan finansial hanya sanksi ringan saja. Hukuman ringan tidak efektif mencegah manajer keuangan yang terlalu rakus atau pemegang saham mayoritas yang bermaksud menipu pejabat pajak, kreditur, atau investor ritel, melakukan kejahatan keuangan lewat rekayasa laporan.
Laporan keuangan yang kredibel dan sudah diaudit adalah kunci integritas industri jasa keuangan. Saat ini, laporan keuangan menjadi persyaratan pertama agar sebuah perusahaan dinyatakan punya tata kelola yang baik, sekaligus menjadi panduan utama bagi investor. Fakta bahwa terjadi rekayasa laporan keuangan luar biasa di perusahaan publik telah menimbulkan kekhawatiran besar terkait kredibilitas dan keandalan laporan keuangan. Perusahaan publik seharusnya tunduk pada persyaratan pengungkapan data yang ketat dan harus lolos proses audit yang dilakukan kantor akuntan publik independen. Rekayasa laporan keuangan juga membuat kalangan investor publik mempertanyakan pengawasan OJK dan kualitas tata kelola manajemen BEI.
Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) merupakan komponen kunci dari prinsip-prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola (LST), yang kini digunakan sebagai pengukur utama untuk menilai keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. GCG juga merupakan fondasi ekonomi pasar, yang mewujudkan aturan dan praktik yang mengatur hubungan antara manajer dan pemegang saham perusahaan, serta para pemangku kepentingan seperti karyawan, pensiunan, dan komunitas lokal. GCG juga memastikan transparansi, keadilan, dan akuntabilitas.
GCG merupakan prasyarat bagi integritas dan kredibilitas institusi yang berhubungan dengan pasar. Dengan membangun kepercayaan, praktik tata kelola yang baik memungkinkan perusahaan memiliki akses ke keuangan eksternal dan membuat komitmen yang dapat diandalkan dengan kreditur, karyawan, dan pemegang saham. Kontrak inilah yang menopang pertumbuhan dalam ekonomi pasar.
Serentetan skandal keuangan yang terjadi baru-baru ini dan ketidaksesuaian penghitungan keuangan serta kesalahan pengendalian internal di perusahaan publik dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap laporan keuangan, kepemimpinan perusahaan, dan integritas pasar. Ketika kepercayaan hilang, pemberi pinjaman dan investor tidak akan tertarik mengambil risiko. Investor publik, terutama investor ritel, akan melepas saham yang mereka miliki, yang artinya akan ada sejumlah nilai yang hilang dan modal yang berkurang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.