TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Bukan sang pengemudi

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, June 15, 2023

Share This Article

Change Size

Bukan sang pengemudi Workers stand beside an Electric Multiple Unit high-speed train for a rail link project part of China's Belt and Road Initiative, at Tegalluar train depot in Bandung, West Java, on Oct. 13, 2022. (Reuters/Yuddy Cahya Budiman)
Read in English

T

elah diputuskan bahwa para pegawai warga negara China akan mengoperasikan kereta cepat pertama di Indonesia, yaitu jalur Jakarta-Bandung. Para petugas dari China akan bekerja setidaknya di tahun pertama kereta cepat beroperasi. Mereka akan bertugas sambil menunggu kesiapan karyawan lokal untuk mengambil alih peran para warga negara asing tersebut. Langkah itu diambil sebagai kompromi untuk memastikan kereta cepat akan bisa mulai melayani penumpang pada bulan Agustus mendatang dan tetap sesuai standar keselamatan ketat yang diminta pemerintah.

Meskipun proyek tersebut terlihat sudah selesai sebagian besar, tetapi ternyata masih ada tantangan yang berisiko penundaan. Kali ini terkait kesiapan sumber daya manusia lokal untuk mengoperasikan moda transportasi andalan yang dibangun sebagai bagian dari kampanye Belt and Road Initiative China.

Lebih tepatnya, penundaan karena tidak siapnya SDM berarti tidak terwujudnya transfer teknologi yang dijanjikan pemerintah sejak awal proyek, setidaknya dalam waktu dekat. Mungkin butuh satu atau dua tahun sejak kereta cepat diresmikan pada Agustus, sebelum transfer teknologi yang ditunggu-tunggu bisa terlaksana.

Sudah bisa dipastikan bahwa mengoperasikan sistem kereta berkecepatan tinggi akan jauh lebih sulit ketimbang menjalankan kereta konvensional. Kereta cepat menggunakan teknologi baru dengan tingkat kerumitan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kereta konvensional. Artinya, operator lokal harus belajar lagi soal teknologinya dari para petugas China yang sudah menguasainya.

Transfer teknologi bisa disebut tuntas saat kita punya kapasitas menjalankan dan memelihara jalur kereta cepat, mengatasi masalah teknis yang mungkin timbul, dan mengembangkan teknologi kereta berkecepatan tinggi milik kita sendiri atau membantu negara lain membangunnya.

Kecuali pemerintah dapat membuktikan bahwa sumber daya manusia dalam negeri mampu menjalankan jalur kereta cepat secara mandiri, tidak banyak yang dapat kita rayakan ketika kereta tersebut beroperasi nanti. Selain itu, penundaan juga akan menunjukkan buruknya perencanaan dalam proyek tersebut, yang sepenuhnya adalah tanggung jawab pemerintah. Memang, proyek kereta cepat sudah penuh kontroversi sejak awal, saat pemerintah secara mengejutkan memberikan proyek tersebut kepada pihak China. Ketika itu, sebetulnya telah ada calon investor dari Jepang yang sudah menyelesaikan studi kelayakan dan mengajukan skema pembiayaan kereta cepat.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Proyek ini telah berlangsung selama lebih dari tujuh tahun sejak dimulai pada Januari 2016. Awalnya direncanakan selesai pada 2019, namun berbagai masalah, teknis dan nonteknis, termasuk pandemi COVID-19, menghambat pekerjaan konstruksi.

Ternyata selama ini, proyek bersejarah itu hanya fokus pada konstruksi fisik. Sisi  pengembangan sumber daya manusianya terbengkalai. Urusan SDM baru tersentuh pada Februari tahun ini, ketika serangkaian sesi pelatihan untuk operator lokal dimulai.

Beberapa ahli telah mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa dengan tenggat waktu yang saat ini ditetapkan, kita hanya punya kesempatan mendidik operator lokal selama lima bulan. Padahal, setidaknya butuh waktu sekitar delapan bulan agar masinis berpengalaman, yang sudah punya jam terbang 100.000 kilometer, mampu mengemudikan kereta cepat. Sedangkan pelatihan untuk masinis yang belum berpengalaman tentu butuh waktu lebih lama, hingga dua kali lipat.

Bahkan jika pelatihan sudah selesai, sangat tidak disarankan untuk menyerahkan pengoperasian kereta cepat ke Indonesia, karena perlu waktu lama bagi operator lokal agar terbiasa dengan sistem kereta cepat.

Pemerintah sudah beberapa kali mengumumkan target penyelesaian kereta cepat. Seharusnya pemerintah sudah tahu apa saja yang perlu dipersiapkan jauh-jauh hari, termasuk pelatihan bagi staf lokal.

Jika pemerintah serius akan mengoperasikan kereta cepat pada Agustus, maka pelatihan seharusnya sudah dimulai jauh sebelum Februari tahun sini, mungkin bersamaan dengan pembangunan fasilitas di lapangan.

Menurut KCIC, konsorsium perusahaan Indonesia dan China yang bertanggung jawab atas proyek kereta cepat tersebut, operator lokal menjalani pelatihan di negeri sendiri dengan bimbingan instruktur China yang diterbangkan langsung dari China.

Perencanaan yang buruk ini juga mengakibatkan pembengkakan biaya berkali-kali lipat, yang mungkin belum disepakati penyelesaiannya bahkan saat kereta cepat diresmikan.

Kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak akan jadi masinis yang pertama kali mengemudikan kereta cepat kita sendiri, gara-gara kita abai bahwa sumber daya manusia adalah elemen penting dalam simbol modernisasi dan kemakmuran tersebut.

 

 

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.