TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Ke mana perginya semua negarawan?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, June 27, 2023

Share This Article

Change Size

Ke mana perginya semua negarawan? Up close and personal: President Joko “Jokowi” Widodo (left) speaks with Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) chairwoman Megawati Sukarnoputri (center) as the party’s presidential candidate, Ganjar Pranowo, looks on during the PDI-P national meeting in Jakarta on June 6. (Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Read in English
Indonesia Decides

Seiring kemunduran demokrasi yang terjadi di Indonesia, bangsa ini berupaya menemukan sosok yang dapat memberi nasihat yang bijak dan mantap. Menjelang pemilu 2024, kita mungkin boleh bertanya seperti Pete Seeger yang mencari bunga dalam lagunya di tahun 1950-an itu, tapi kita ganti syairnya jadi “Ke mana perginya semua negarawan?”

Kita sedang menyaksikan Presiden yang hendak pensiun mendorong para pendukung memilih pengganti yang ia jagokan, dengan alasan menyelamatkan program-program andalannya – atau bisa dibilang warisannya. Ia cawe-cawe, ungkapan bahasa Jawa yang berarti “ikut campur membereskan pekerjaan”. Tindakan cawe-cawe merupakan hal yang tidak etis. Sayangnya, tokoh-tokoh terkemuka yang dinilai bisa mengimbau Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menahan diri justru tampaknya terlibat dalam politik praktis itu sendiri. Jika tidak, para tokoh itu sedang mencari posisi sebagai king maker, atau penentu dalam pemilihan presiden.

Dalam upaya terbaru mengingatkan Presiden Jokowi akan tanggung jawabnya menjaga demokrasi Indonesia, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merilis buku kecil berjudul Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi pada Senin kemarin (26 Juni). SBY mengatakan bahwa buku itu ditulis untuk anggota Partai Demokrat.

Dalam buklet setebal 27 halaman tersebut, SBY mengungkapkan pandangannya tentang tindakan Presiden menjelang pemilu 2024, termasuk keterlibatan mendalam Jokowi dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden. SBY juga menulis dugaan preferensi Jokowi terhadap kandidat tertentu dan prasangkanya terhadap mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, calon presiden dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan.  Koalisi Perubahan terdiri dari Partai Demokrat, Partai NasDem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sebelumnya, SBY sempat menulis di Twitter bahwa dirinya mengupayakan hubungan yang harmonis dengan Jokowi dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri demi kebaikan bangsa.

Meski imbauan SBY patut disimak, publik sadar bahwa presiden keenam Indonesia itu juga berbicara sebagai sosok paling berpengaruh di Partai Demokrat. Partai tersebut saat ini sedang berjuang untuk kembali memerintah setelah hampir satu dasawarsa tersingkir dari koalisi yang berkuasa. Partai tersebut diduga mendesak Koalisi Perubahan agar memilih Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, putra sulung SBY, sebagai calon wakil presiden Anies.

Anies berjanji akan mengumumkan cawapresnya sepulang dari ibadah haji. Namun, sudah jelas bahwa keengganan Anies menyelesaikan urusan cawapres adalah akibat tarik ulur di dalam koalisi. Sikap Anies yang tak kunjung menyebutkan nama calon wakil presidennya juga dinilai menyebabkan elektabilitasnya turun dalam jajak pendapat publik.

Jika SBY gagal mengimbau agar Jokowi menahan diri, Megawati pun mungkin gagal juga. Sebagai pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tujuan Megawati adalah memimpin partai yang bisa memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden lagi. Megawati bisa saja memenangkan rasa hormat dari banyak orang karena mengizinkan kader partai mencalonkan diri sebagai presiden – Jokowi pada tahun 2014 dan 2019, dan sekarang Ganjar Pranowo pada tahun 2024 – tetapi ia juga bukan orang yang tepat untuk memberi nasihat terkait cita-cita demokrasi, mengingat ia pun punya kepentingan pribadi.

Lebih jauh, PDI-P pernah berniat merusak demokrasi dengan menyarankan penggunaan kembali sistem pemilu daftar tertutup. Mahkamah Konstitusi baru-baru ini menolak usulan PDI-P dan menyatakan memutuskan mekanisme pemilihan umum daftar terbuka yang sudah berjalan, yang terbukti lebih transparan jika dibandingkan dengan sistem yang lama.

Kita boleh iri pada Amerika Serikat. Meskipun masih terus berjuang agar bisa jadi negara demokrasi panutan, setidaknya mantan presiden AS—atau paling tidak sebagian besar dari mereka—tidak ikut campur dan menahan diri tidak terlibat politik praktis, mereka tidak mengurusi pekerjaan pemerintah yang berkuasa.

Jika mantan presiden menunjukkan sikap negarawan sejati, mereka dapat membantu menjaga integritas jabatan, memupuk persatuan nasional, dan memberi bimbingan berharga bagi para pemimpin saat ini. Namun, begitu mereka masuk ranah politik praktis, mereka meruntuhkan rasa hormat dan kekaguman yang selama ini ditujukan pada pemimpin.

Jadi ke mana perginya semua negarawan? Hasrat akan kekuasaan, persis dalam lagu Seeger, "sudah memilih mereka semua".

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.