TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Mitra mineral kritis

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, July 6, 2023

Share This Article

Change Size

Mitra mineral kritis President Joko Widodo (right) and Australian Prime Minister Anthony Albanese shake hands at Admiralty House in Sydney, Australia, on July 4, 2023. (AFP/Lisa Maree Williams)
Read in English

K

esepakatan Rencana Aksi 2023-2025 antara Pemerintah Negara Bagian Australia Barat dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia terkait pengembangan dan pengolahan mineral kritis, terutama nikel dan litium, merupakan persetujuan yang cukup strategis. Kesepakatan tersebut akan memicu percepatan hubungan ekonomi dan perdagangan kedua negara yang selama ini belum maksimal, bahkan masih jauh dari potensi sebenarnya. Kerja sama tersebut juga akan memperkuat komitmen kedua negara untuk mempercepat transisi mereka ke energi terbarukan.

Setelah penandatanganan rencana aksi terlaksana di Syndey, Selasa lalu, di sela-sela pertemuan puncak antara Presiden Joko "Jokowi" Widodo dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, kita bisa yakin bahwa dukungan politik yang kuat akan mempercepat realisasi perjanjian kerja sama. Partisipasi para pemimpin bisnis kedua negara dalam kesepakatan juga akan memastikan bahwa investor, baik dari Indonesia maupun Australia, akan bisa diyakinkan sejak awal atas pengembangan mineral-mineral kritis tersebut secara terintegrasi.

Penyelesaian Rencana Aksi, yang berisi begitu banyak detail teknis, berlangsung relatif cepat, mengingat kesepakatan itu didasarkan pada nota kesepahaman antara pemerintah Australia Barat dan Kadin. Nota kesepahaman ditandatangani di Perth awal tahun ini saat kunjungan Menteri Koordinator Kelautan dan Urusan Penanaman Modal Luhut Pandjaitan. Saat itu, Luhut juga bertemu manajemen perusahaan tambang litium Australia seperti Tianqi Lithium, BHP, dan Pilbara Minerals.

 Kemitraan ini akan membuka banyak peluang di sektor mineral kritis. Kekayaan nikel Indonesia yang besar dan cadangan litium Australia yang melimpah harus menjadi jembatan bagi kemitraan yang layak secara komersial sekaligus menguntungkan bagi kedua negara bertetangga tersebut untuk mengembangkan industri baterai dan kendaraan listrik (electric vehicle atau EV).

Indonesia kaya akan nikel, menyumbang 37 persen produksi nikel global dan 22 persen cadangan internasional, tetapi kekurangan litium. Indonesia juga punya banyak tenaga kerja berbiaya rendah untuk mengelola industri ini. Sudah sewajarnya jika negara ini sangat ingin menjadi pusat produksi baterai regional dan akhirnya menjadi pusat industri EV. Namun, Indonesia butuh litium. Komponen penting untuk industri baterai mobil tersebut melimpah di kawasan Australia Barat, yang merupakan lokasi yang menyimpan cadangan litium terbanyak kedua di dunia, sekaligus produsen litium terbesar secara global.

Perusahaan dari Korea Selatan, Cina, dan Jepang telah mulai berinvestasi di industri nikel, aki mobil, dan EV di Indonesia. Namun, para investor ini perlu memastikan konsistensi dan ketersediaan pasokan litium. Menurut para analis, satu baterai EV rata-rata membutuhkan sekitar 8 kilogram litium. Peluang ini seharusnya bisa jadi pendorong yang kuat untuk usaha patungan antara pebisnis Australia dan Indonesia.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Kita tahu ada banyak grup bisnis besar Indonesia yang sudah beroperasi di sektor sumber daya alam melalui anak perusahaan mereka di Australia, terutama di pertambangan metalurgi dan batu bara termal. Karena penggunaan batu bara kini secara bertahap dihentikan dalam program transisi ke energi terbarukan, perusahaan-perusahaan ini harus agresif berinvestasi di industri litium Australia. Perusahaan yang memproduksi baterai mobil dan EV di Indonesia akan menjadi pelanggan utama litium Australia. Ini saatnya perusahaan-perusahaan tersebut masuk rantai pasokan di tingkat pertambangan di Australia untuk mengamankan pasokan.

Australia secara global dikenal sebagai penghasil v utama energi dan mineral. Perusahaan Indonesia dapat memainkan peran penting dalam mempercepat pasokan dengan menyediakan pembiayaan untuk penambangan dan pemrosesan sebelum manufaktur di dalam negeri. Industri nikel dan litium sangat strategis keterkaitannya, baik dari segi manfaat ekonomi maupun kontribusinya dalam mitigasi perubahan iklim. Karena itu, kedua pemerintah juga harus memberikan insentif untuk kerjasama dalam rantai nilai litium.

Usaha patungan dalam industri litium akan memperluas dan mengintensifkan hubungan bisnis karena perusahaan dari kedua negara akan semakin saling terkait, yang pada akhirnya semakin terbuka terhadap prospek investasi di area bisnis lain. Singkatnya, kemitraan dalam mineral kritis akan memicu perluasan hubungan ekonomi lebih cepat dari yang sekarang terjadi. Sejauh ini hubungan perdagangan Indonesia dan Australia bisa dikatakan tumbuh lambat jika dibandingkan dengan potensinya, bahkan setelah penerapan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IA-CEPA) di 2020.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.