atas waktu 1 Juli yang ditetapkan oleh pemberontak Papua yang menahan pilot Susi Air Philip Mehrtens telah berlalu. Sejauh ini, operasi militer yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga belum membuahkan hasil.
Presiden Joko "Jokowi" Widodo sendiri telah berjanji bahwa pemerintah akan terus mengupayakan pembebasan pilot warga negara Selandia Baru tersebut melalui cara-cara damai. Namun, rasanya kita boleh meragukan efektivitas pendekatan pemerintah sejauh ini.
Kini, lima bulan berlalu dan tidak ada tanda-tanda Mehrtens segera dibebaskan. Kita harus mendesak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) untuk segera membebaskan sandera demi alasan kemanusiaan.
Penculikan Mehrtens tidak hanya membawa duka bagi keluarganya tetapi juga menimbulkan penderitaan bagi masyarakat Papua. Kemelut akibat penculikan mengakibatkan terganggunya operasional Susi Air di wilayah tersebut. Padahal, selama ini layanan penerbangan itulah yang menjadi penyelamat bagi masyarakat Papua, terutama bagi yang tinggal di daerah terpencil di dataran tinggi, karena membawa kebutuhan pokok.
Mari mendukung tekad pemerintah untuk menggunakan pendekatan damai, termasuk melalui perundingan dengan dibantu tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat, agar krisis segera berakhir. Pada akhirnya, pendekatan yang dilakukan pemerintah seharusnya tidak hanya demi mengulur waktu saja, tetapi harus ada tenggat masa penyelesaian krisis dengan korban minimal.
Dalam skema besar, pemerintah juga harus lebih cepat berupaya mengatasi akar keluhan dan sumber frustrasi masyarakat Papua. Memang harus diakui bahwa segalanya makin kompleks ketika ada benturan antara kepentingan ekonomi dan politik elit lokal di Papua dengan motif amoral para elit dan politisi di tingkat pemerintah pusat.
Penderitaan rakyat Papua sudah berakar sangat dalam. Hal itu dengan mudah kita saksikan dari latar belakang orang-orang yang terlibat dalam kasus penyanderaan pilot saat ini.
Egianus Kogoya, pemberontak berambut gimbal di balik penculikan Mehrtens adalah putra kepala suku Silas Kogoya dari Kabupaten Nduga, Dataran Tinggi Papua. Pada 1996, Silas memimpin komplotan untuk menculik peneliti asing, juga peneliti dalam negeri, yang sedang bekerja di Mapenduma. Para sandera baru dibebaskan setelah dilakukan operasi pengamanan yang dipimpin oleh Brigjen TNI Prabowo Subianto yang saat itu menjabat Komandan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Dan sekarang, dengan adanya jadwal perjalanan Presiden Jokowi ke Papua Nugini, mungkin kita bisa berharap beliau pun sedang memikirkan solusi terbaik untuk masalah penyanderaan di dataran tinggi Papua ini.
Cukup melegakan bahwa TNI telah berjanji menggunakan cara damai untuk menyelesaikan krisis. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengatakan bahwa militer akan mengutamakan perundingan dengan pemberontak, melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat. Melihat tuntutan TPNPB dan menyaksikan para pemberontak melancarkan aksinya, kita patut memuji janji pemerintah untuk tetap menjaga perdamaian.
TPNPB, kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), menculik pilot Mehrtens ketika pesawat kecilnya yang berisi tujuh penumpang mendarat di Nduga, Dataran Tinggi Papua, pada 7 Februari. Pemberontak lalu membakar pesawat itu segera setelah pesawat mendarat.
Awalnya, para pemberontak menuntut Indonesia mengakui kemerdekaan seluruh wilayah Papua dan segera menarik seluruh pasukan TNI dari wilayah tersebut.
Bagi Jakarta, tuntutan itu sama sekali tidak masuk akal. Tidak mungkin memulai negosiasi untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua, yang secara internasional sudah diakui sebagai wilayah kedaulatan Indonesia.
Dengan tidak adanya tanggapan yang diberikan oleh Jakarta, para pemberontak mereduksi permintaan mereka. Tuntutan diperbarui menjadi meminta pemerintah Indonesia memulai negosiasi mengenai proses pemberian kemerdekaan kepada Papua, wilayah yang kaya sumber daya alam tersebut.
Seperti sudah diprediksi, Jakarta tidak juga menanggapi permintaan baru tersebut karena yakin hal itu bukan tekanan terakhir dari para penyandera.
Dalam sejarah, pemerintah pusat beberapa kali meremehkan para pemberontak bersenjata ini. Kadangkala, pendekatan semacam itu menghabiskan biaya besar.
Pada November 2018, pemberontak membunuh 16 pekerja konstruksi di distrik Mbua Nduga dan pada Maret 2021 mereka menculik pilot Susi Air di Kabupaten Puncak. Sang pilot kemudian dibebaskan.
Nampaknya, pembunuhan dan penculikan akan terus menjadi fakta kehidupan di Papua, kecuali pemerintah pusat berhasil mengurai dan mengatasi akar masalahnya. Sementara ini, mari kita semua menuntut pembebasan Mehrtens. Kita juga harus terus mengimbau Jakarta untuk lebih mendengarkan aspirasi rakyat Papua.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.