TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Penghasilan berbeda dengan kesejahteraan

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, July 7, 2023

Share This Article

Change Size

Penghasilan berbeda dengan kesejahteraan A Greater Jakarta LRT train passes over Jl. Gatot Subroto in Jakarta on June 14, 2023. As part of its soft opening, the LRT will carry a limited number of passengers from July 12 to Aug. 15. (Antara/Galih Pradipta)
Read in English

I

ndonesia kembali mendapatkan status sebagai negara berpendapatan menengah ke atas versi penilaian terbaru Bank Dunia. Apakah status itu boleh dirayakan?

Belum saatnya.

Bank Dunia mengklasifikasikan tingkat ekonomi berdasarkan pendapatan nasional bruto (PNB) tahunan per kapita. PNB Indonesia yang mencapai $4.580 dolar Amerika membuat posisi negara kita ada di jajaran bawah di kelasnya, yang dimulai dari $4.466.

Harus diakui, peningkatan 9,8 persen dari tahun sebelumnya adalah prestasi mengesankan. Indonesia juga merupakan satu dari hanya tiga negara yang naik ke kelompok berpenghasilan menengah, dua lainnya adalah El Salvador dan Tepi Barat serta Gaza.

Status sebagai negara berpendapatan menengah ke atas pernah diperoleh Indonesia beberapa tahun lalu, namun kemudian berubah akibat pandemi COVID-19. Perubahan perekonomian dan jumlah populasi secara otomatis menempatkan Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah pada saat pandemi.

Bagaimana pun, status saat ini masih sangat jauh dari status berpenghasilan tinggi yang didambakan. Berdasarkan standar Bank Dunia yang dikeluarkan pada 30 Juni lalu, status negara berpenghasilan tinggi dimulai dengan PNB per kapita $13.845.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengatakan, untuk dapat mencapai PNB per kapita $13.845, pertumbuhan PDB tahunan harus antara 6 dan 7 persen. Yang kita capai saat ini rata-rata sekitar 5 persen selama satu atau dua dekade terakhir.

Lalu, apakah kita terjebak dalam yang disebut sebagai middle income trap? Inilah “jebakan” yang ditakuti. Mungkin kita belum sampai di kondisi tersebut, tapi semua tergantung kebijakan yang dijalankan.

Middle income trap, atau jebakan pendapatan menengah, sederhananya, adalah keadaan ketika negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Negara dianggap “terjebak” ketika telah berjuang untuk bersaing dengan negara-negara kurang berkembang lain dalam hal biaya tenaga kerja namun tidak bisa menjadi lebih maju agar cukup kuat bersaing dengan negara-negara yang lebih kompeten.

Karena menurunkan biaya tenaga kerja sangat sulit dilakukan, jalan keluar yang masuk akal adalah mendorong inovasi, penelitian, dan pengembangan untuk membangun ekonomi yang lebih maju, sehingga bisa melaju ke liga yang berisi negara-negara berpenghasilan tinggi.

Harusnya, fokus itulah yang diambil pemerintahan yang akan terpilih tahun depan. Pemimpin yang mengambil kendali mulai tahun depan harus fokus agar Indonesia dapat secara efisien memproduksi barang manufaktur bernilai tinggi sekaligus menampilkan layanan jasa berkualitas untuk bersaing di pasar global.

Selain itu, penting juga punya sikap tidak melebih-lebihkan fungsi pendapatan rata-rata. Pendapatan per kapita terkait erat dengan kesejahteraan, tetapi keduanya adalah hal yang berbeda.

Tugas pemerintah, di mana pun, adalah memastikan kesejahteraan rakyatnya. Jumlah penghasilan menjadi penting di sini hanya karena penghasilan mendukung tujuan kesejahteraan, tetapi penghasilannya sendiri bukan tujuan akhir.

Kesejahteraan mencakup berbagai aspek, mulai dari akses ke perawatan kesehatan dan pendidikan berkualitas, hingga kesempatan kerja yang adil dan seimbang dalam keseharian, keselamatan fisik, jaminan sosial – terutama di usia tua – serta tempat tinggal yang terjangkau dan mudah diakses.

PNB per kapita juga jadi kurang tepat dijadikan ukuran kesejahteraan material karena rata-rata pendapatan nasional tidak banyak membantu orang miskin, yang pendapatan aktualnya berada jauh di bawah PNB per kapita.

Dalam hal kesejahteraan, distribusi pendapatan nasional sama pentingnya dengan jumlah keseluruhannya. Tolok ukur kesetaraan yang diterima secara luas adalah koefisien Gini, yang dapat menghasilkan nilai antara 0 (kesetaraan total) dan 1 (ketidaksamaan total).

Untuk Indonesia, koefisien Gini untuk ketimpangan pengeluaran mencapai 0,380 pada September 2019 dan 0,381 pada September 2022. Bisa dikatakan tidak ada kemajuan yang dicapai sejak sebelum pandemi hingga tahun lalu.

Namun, angka itu relatif baik jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang dan juga mengalahkan Amerika Serikat, yang mendapat skor lebih buruk di antara banyak negara berpenghasilan tinggi lainnya.

Distribusi kekayaan dan pendapatan sangat penting bagi kesejahteraan, karena tambahan pendapatan 1 juta rupiah per bulan menciptakan perbedaan besar dalam kehidupan si miskin tetapi tidak akan dirasakan oleh si kaya. Inilah yang dalam perekonomian dikenal sebagai berkurangnya utilitas marjinal.

Karena semua uraian di atas, pemerintah tidak dapat menepuk dada dan merasa puas pada kenaikan angka PNB per kapita. Justru pemerintah harus memastikan kesejahteraan semua warga. Kebijakan-kebijakan yang diputuskan harus menghasilkan pembangunan ekonomi dan peningkatan sosial yang merata untuk semua orang, dan memungkinkan setiap orang meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa kecuali.

Saat hal itu terjadi, barulah kita boleh bersulang.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.