ita sangat suka ketika ada seniman yang berpikir politis. Kita senang saat mereka menganggap benda seni macam buku, lagu, atau lukisan tidak hanya dibuat untuk menghibur tapi juga punya kekuatan untuk mengubah dunia.
Seni harus bisa mengabarkan tentang kondisi manusia pada penikmatnya, dan seni yang hebat dapat berfungsi sebagai ajakan untuk melawan kejahatan yang terjadi di dunia politik.
"Guernica" karya Pablo Picasso adalah contoh nyata untuk pasifisme. Kritiknya yang membara terhadap Nazi telah menjadikan lukisan itu relevan bagi generasi mendatang.
Lagu Woody Guthrie “This Land is Your Land” ditulis pada tahun 1940-an sebagai ungkapan melawan rasisme, kemudian dianggap sebagai kebalikan lagu kebangsaan Amerika. Kini, lagu tersebut mendapat tempat dalam sejarah rock sebagai salah satu lagu terbaik, bersanding dengan lagu antiperang karya Bob Dylan “Blowing in the Wind,” serta lirik puitis antirasis lagu Public Enemy dalam “Fight the Power.”
Di negeri sendiri, kita punya seniman macam Iwan Fals atau Slank, kelompok rock and roll yang berbasis di Jakarta. Hampir sepanjang tahun 1980-an keduanya menginspirasi jutaan anak muda di negara ini dengan lagu-lagu mereka yang bersyair antikemapanan.
Harus diingat bahwa lagu Iwan Fals “Bento”, berisi cacian terhadap pemimpin otoriter Soeharto, sempat mengilhami kaum muda di akhir 1990-an untuk turun ke jalan dan berunjuk rasa melawan kebrutalan rezim Orde Baru.
Slank, di puncak kreativitasnya, berhasil menulis komentar sosial yang menggigit tanpa kehilangan sentuhan melodi yang menarik di lagu-lagu mereka seperti “Birokrasi Complex” dan “Feodalisme (Warisan Kompeni)”.
Yang jadi masalah bagi Iwan Fals atau Slank adalah mereka seharusnya berhenti saat masih di puncak kejayaan.
Hari-hari ini, Anda akan melihat mereka tampil di papan reklame, layar televisi, serta iklan media sosial untuk menjajakan rokok atau ponsel murah. Mereka juga menulis lagu yang mulai diragukan tujuannya.
Akhir pekan lalu, Slank kembali membuat heboh setelah merilis lagu yang ditulis untuk memperingati HUT ke-77 Polri, berjudul "Polisi yang Baik Hati".
Lirik lagunya menggelikan dan melodinya biasa saja. Rasanya, itulah titik terendah untuk Slank. Lagu itu seolah berjarak beberapa tahun cahaya dari puncak kejayaan grup Slank di pertengahan 1990-an.
Kita seharusnya tidak kaget. Seperti halnya banyak band besar di tanah air, Slank telah memutuskan untuk menyesuaikan diri dengan terlibat dalam arus politik negara. Aktivitas itu mereka mulai pada 2019 di Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno. Saat itu, Slank berhasil menjadi penarik massa yang mendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo agar terpilih kembali. Aksi mereka menghiasi halaman depan media massa Indonesia.
Bisnis musik saat ini mengalami paceklik. Pendapatan dari penjualan rekaman makin tipis karena skema harga rendah yang ditawarkan layanan streaming, khususnya Spotify. Industri musik live sendiri baru saja pulih dari pandemi COVID-19.
Dengan sangat sedikit insentif yang ditawarkan oleh industri, harap dimaklumi jika musisi dan artis berpikir bahwa bergabung dengan institusi politik adalah satu-satunya jalan menghindari kemelaratan.
Jadi jelas pula arah langkah beberapa nama besar dalam musik seperti Giring Ganesha, Ahmad Dhani dari Dewa, serta Pasha Ungu untuk bergabung dengan partai politik besar dan mencalonkan diri sebagai kandidat anggota legislatif.
Pilihan lain jika politik dirasa terlalu berlebihan, terutama bagi mereka yang tidak punya kecerdasan politik, adalah menjual lisensi atas nama atau lagu mereka untuk dimanfaatkan jadi iklan rokok atau kopi. Tidak ada yang salah dengan menggunakan lagu untuk menjual sesuatu. Bahkan Bob Dylan pernah membuat iklan pemasaran mobil SUV.
Namun, politik selalu bisa menciptakan kebingungan moral. Seringkali, karier musisi terhenti di sisi sejarah yang salah akibat salah pilih. Musisi harus selalu mendidik diri mereka sendiri sebelum memutuskan tentang apa yang harus dilakukan dengan talenta seni yang mereka punya. Atau jika tidak berani menentukan pilihan, selalu ada pilihan untuk berhenti.
Seperti yang pernah dikatakan penyair era 1960-an, "lebih baik habis terbakar daripada memudar."
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.