TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Terbakar atau memudar

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, July 22, 2023

Share This Article

Change Size

Terbakar atau memudar This photo taken on December 26, 2017 shows rock band Slank performing during the Big Bang Slank Music Concert in Jakarta. (AFP/Dedi Mulyadi)
Read in English

K

ita sangat suka ketika ada seniman yang berpikir politis. Kita senang saat mereka menganggap benda seni macam buku, lagu, atau lukisan tidak hanya dibuat untuk menghibur tapi juga punya kekuatan untuk mengubah dunia.

Seni harus bisa mengabarkan tentang kondisi manusia pada penikmatnya, dan seni yang hebat dapat berfungsi sebagai ajakan untuk melawan kejahatan yang terjadi di dunia politik.

"Guernica" karya Pablo Picasso adalah contoh nyata untuk pasifisme. Kritiknya yang membara terhadap Nazi telah menjadikan lukisan itu relevan bagi generasi mendatang.

Lagu Woody Guthrie “This Land is Your Land” ditulis pada tahun 1940-an sebagai ungkapan melawan rasisme, kemudian dianggap sebagai kebalikan lagu kebangsaan Amerika. Kini, lagu tersebut mendapat tempat dalam sejarah rock sebagai salah satu lagu terbaik, bersanding dengan lagu antiperang karya Bob Dylan “Blowing in the Wind,” serta lirik puitis antirasis lagu Public Enemy dalam “Fight the Power.”

Di negeri sendiri, kita punya seniman macam Iwan Fals atau Slank, kelompok rock and roll yang berbasis di Jakarta. Hampir sepanjang tahun 1980-an keduanya menginspirasi jutaan anak muda di negara ini dengan lagu-lagu mereka yang bersyair antikemapanan.

Harus diingat bahwa lagu Iwan Fals “Bento”, berisi cacian terhadap pemimpin otoriter Soeharto, sempat mengilhami kaum muda di akhir 1990-an untuk turun ke jalan dan berunjuk rasa melawan kebrutalan rezim Orde Baru.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Slank, di puncak kreativitasnya, berhasil menulis komentar sosial yang menggigit tanpa kehilangan sentuhan melodi yang menarik di lagu-lagu mereka seperti “Birokrasi Complex” dan “Feodalisme (Warisan Kompeni)”.

Yang jadi masalah bagi Iwan Fals atau Slank adalah mereka seharusnya berhenti saat masih di puncak kejayaan.

Hari-hari ini, Anda akan melihat mereka tampil di papan reklame, layar televisi, serta iklan media sosial untuk menjajakan rokok atau ponsel murah. Mereka juga menulis lagu yang mulai diragukan tujuannya.

Akhir pekan lalu, Slank kembali membuat heboh setelah merilis lagu yang ditulis untuk memperingati HUT ke-77 Polri, berjudul "Polisi yang Baik Hati".

Lirik lagunya menggelikan dan melodinya biasa saja. Rasanya, itulah titik terendah untuk Slank. Lagu itu seolah berjarak beberapa tahun cahaya dari puncak kejayaan grup Slank di pertengahan 1990-an.

Kita seharusnya tidak kaget. Seperti halnya banyak band besar di tanah air, Slank telah memutuskan untuk menyesuaikan diri dengan terlibat dalam arus politik negara. Aktivitas itu mereka mulai pada 2019 di Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno. Saat itu, Slank berhasil menjadi penarik massa yang mendukung Presiden Joko “Jokowi” Widodo agar terpilih kembali. Aksi mereka menghiasi halaman depan media massa Indonesia.

Bisnis musik saat ini mengalami paceklik. Pendapatan dari penjualan rekaman makin tipis karena skema harga rendah yang ditawarkan layanan streaming, khususnya Spotify. Industri musik live sendiri baru saja pulih dari pandemi COVID-19.

Dengan sangat sedikit insentif yang ditawarkan oleh industri, harap dimaklumi jika musisi dan artis berpikir bahwa bergabung dengan institusi politik adalah satu-satunya jalan menghindari kemelaratan.

Jadi jelas pula arah langkah beberapa nama besar dalam musik seperti Giring Ganesha, Ahmad Dhani dari Dewa, serta Pasha Ungu untuk bergabung dengan partai politik besar dan mencalonkan diri sebagai kandidat anggota legislatif.

Pilihan lain jika politik dirasa terlalu berlebihan, terutama bagi mereka yang tidak punya kecerdasan politik, adalah menjual lisensi atas nama atau lagu mereka untuk dimanfaatkan jadi iklan rokok atau kopi. Tidak ada yang salah dengan menggunakan lagu untuk menjual sesuatu. Bahkan Bob Dylan pernah membuat iklan pemasaran mobil SUV.

Namun, politik selalu bisa menciptakan kebingungan moral. Seringkali, karier musisi terhenti di sisi sejarah yang salah akibat salah pilih. Musisi harus selalu mendidik diri mereka sendiri sebelum memutuskan tentang apa yang harus dilakukan dengan talenta seni yang mereka punya. Atau jika tidak berani menentukan pilihan, selalu ada pilihan untuk berhenti.

Seperti yang pernah dikatakan penyair era 1960-an, "lebih baik habis terbakar daripada memudar."

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.