elonjaknya harga pangan semakin memprihatinkan. Lebih jauh, harga beras yang melejit, sangat menyedihkan. Menurut data Badan Pangan Nasional, harga beras pada awal September adalah Rp12.530 (81 sen AS) per kilogram, naik 16 persen jika dibandingkan dengan tahun lalu.
Angka tersebut jauh di atas pagu harga pemerintah yang berkisar antara Rp10.900 hingga Rp11.800 per kg. Dan pagu ini adalah hasil revisi tahun lalu, untuk mengakomodasi harga rata-rata yang lebih tinggi.
Bulan lalu, inflasi beras tahunan mencapai 13,76 persen. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), angka itu menjadi yang tertinggi dalam lebih dari satu dekade belakangan.
Harga beras melonjak sebagai dampak dari musim kemarau saat ini, yang makin intensif karena efek El Niño dalam beberapa bulan terakhir. Akibatnya, terjadi penurunan hasil panen di banyak negara. Kementerian Pertanian memperkirakan bahwa hasil panen padi Indonesia akan menurun sekitar 1,2 juta ton, sementara lembaga lain memproyeksikan penurunan sebesar 1,5 juta ton.
El Niño telah memicu kekhawatiran mengenai ketahanan pangan di Asia, sehingga mendorong negara-negara seperti India untuk melarang ekspor jenis beras tertentu. Vietnam juga mengurangi ekspor beras secara signifikan untuk menjaga pasokan dalam negeri.
Larangan ekspor yang diberlakukan di beberapa negara penghasil beras diyakini akan meningkatkan guncangan terhadap harga beras domestik di negara-negara konsumen, termasuk Indonesia. Pasalnya, beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar dari 270 juta penduduk negeri ini. Faktanya, produksi beras dalam negeri tak mampu memenuhi kebutuhan penduduknya yang terus bertambah, meskipun Indonesia mengklaim swasembada beras.
Sulit bagi Indonesia untuk mengendalikan harga beras, karena komoditas ini menyumbang sekitar 20 persen pengeluaran keluarga miskin, yang merupakan porsi terbesar dibandingkan komoditas lainnya. Kegagalan menjaga harga beras berisiko menyebabkan lebih banyak orang di Indonesia yang jatuh miskin.
Di masa yang penuh tantangan seperti era “pendidihan global” saat ini, impor bisa jadi pilihan yang paling tepat untuk menjaga stabilitas harga. Namun, impor bukan solusi mudah, mengingat adanya pembatasan yang berlaku di beberapa negara pengekspor. Indonesia juga harus bersaing dengan banyak pembeli lain di pasar global.
Harga beras global bulan Agustus juga meroket ke level tertinggi dalam 15 tahun, menurut data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture atau FAO). Indonesia pernah mempertimbangkan untuk mengimpor beras dari Kamboja, tapi rencana tersebut ditunda, atau bahkan dibatalkan, karena harganya dianggap terlalu tinggi.
Tahun ini, Badan Urusan Logistik (Bulog) telah mengimpor 1,6 juta ton beras untuk mengisi cadangan beras pemerintah (CBP). CBP dapat digunakan kapan pun diperlukan untuk menstabilkan harga beras dalam negeri.
Jika diperlukan, Bulog bahkan dapat merealisasikan sisa kuota impor di atas 400.000 ton untuk mendukung CBP dan menjaga kestabilan harga. Namun pemerintah harus mengizinkan badan tersebut menaikkan harga acuan beras internasional, karena pilihan yang tersedia semakin terbatas, sekaligus memastikan transparansi. Pemerintah harus berbuat lebih banyak untuk meyakinkan pasar dalam negeri bahwa pasokan beras aman dan tersedia, terutama setelah ada impor beras.
Pengendalian harga beras akan menguntungkan konsumen dan penggilingan padi skala kecil. Selama ini, penggilingan padi skala kecil dilaporkan kesulitan mendapat gabah karena harganya naik di tengah persaingan tak setara dengan pabrik penggilingan padi industri besar.
Kegagalan melindungi pabrik penggilingan padi skala kecil ini dapat menimbulkan tantangan baru dalam pengendalian harga di masa depan, karena akan hanya ada sedikit pabrik penggilingan padi yang dapat menentukan harga.
Hal ini akan bertentangan dengan prinsip yang terbaik bagi konsumen dan terbaik bagi petani dalam beberapa hal. Dan akhirnya memerlukan lagi intervensi pemerintah untuk mencegah munculnya beberapa pemain dominan, apalagi pemain tunggal, yang akan melemahkan persaingan yang sehat.
Situasi saat ini jadi pertanda buruk, terutama bagi para petani. Pilihan mereka untuk menjual beras jadi terbatas. Melonjaknya harga beras belum tentu menguntungkan petani, karena masih ada pemain dominan yang seenaknya mendikte harga.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.