ebagai negara yang mengklaim menjunjung tinggi hak asasi manusia, sungguh membingungkan jika Indonesia tetap mempertahankan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya. Yang jadi masalah dengan hukuman mati di negara kita bukan hanya karena hukuman tersebut tidak dapat diganti, tetapi juga karena sistem negara yang korup akan memberi ruang bagi terjadinya kegagalan hukum, karena tidak adanya keadilan dan kepastian.
Memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia pada Selasa, kami bergabung dengan kelompok hak asasi manusia untuk lagi-lagi menyerukan agar pemerintah menghapuskan hukuman mati. Alasannya bukan semata karena sistem peradilan Indonesia rawan kesalahan, tetapi juga karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dialami para terpidana mati.
Mari kita lihat kasus Yusman Telambuana. Saat usianya 16 tahun, pada 2013, ia dijatuhi hukuman mati oleh hakim di Sumatera Utara atas tiga tuduhan pembunuhan. Ia dibebaskan dari tuduhan setelah peninjauan kembali atas kasusnya. Permintaan peninjaukan kembali diajukan ke Mahkamah Agung oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan dikabulkan pada 2015.
Kita juga harus mengingat kembali narapidana narkoba asal Pakistan, Zulfiqar Ali, yang tidak seberuntung Yusman. Pengadilan memvonis Ali hukuman mati pada 2005, setelah melalui persidangan yang digambarkan oleh para pengamat sebagai ketidakadilan, karena ia diajukan ke pengadilan tanpa penasihat hukum. Pada 2018, Ali meninggal dunia di penjara setelah berjuang melawan penyakit yang dirahasiakan, sebelum eksekusi sempat dilakukan.
KontraS mencatat, terdapat total 27 hukuman mati antara Oktober 2022 dan September 2023 saja. Dari jumlah tersebut, 18 terkait pelanggaran narkoba, tujuh pembunuhan berencana, dan dua kejahatan kekerasan seksual. Angka tersebut sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan periode 2021-2022, yang mencatat ada 31 hukuman mati dijatuhkan oleh pengadilan negeri.
Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), hingga Agustus, terdapat 428 terpidana mati yang menunggu eksekusi.
Ada harapan besar bahwa para pembuat kebijakan akan menghapus hukuman mati ketika tahun lalu mereka membahas revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP yang direvisi diharapkan dapat menggantikan undang-undang usang warisan para penjajah. Disahkan pada akhir 2022, KUHP baru memperkenalkan masa percobaan otomatis 10 tahun bagi terpidana mati. Dalam masa percobaan, terpidana bisa menunjukkan perilaku yang baik agar hukumannya diringankan. Setelah masa percobaan berlalu, presiden yang menjabat dapat mengurangi hukumannya menjadi seumur hidup atau 20 tahun penjara. Kebijakan tersebut akan berlaku mulai 2026.
Harus diakui, revisi KUHP merupakan kemajuan. Namun, masih terlalu dini untuk merayakannya. Bagaimana pun, KUHP yang baru tetap mempertahankan hukuman mati, dan sayangnya tidak ada jaminan adanya peradilan yang adil. Lebih ironis lagi, Indonesia adalah bagian dari negara yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi tersebut melindungi hak untuk hidup dan hak hidup yang bebas dari penyiksaan atau perlakuan juga hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang menerapkan hukuman mati, dan hal ini bertentangan dengan tren dunia. Pada 2022, 109 dari 193 negara anggota PBB telah sepenuhnya menghapuskan hukuman mati.
Di Indonesia, jalan untuk mengakhiri hukuman mati masih panjang. Terpilihnya pemimpin baru sepertinya tidak akan membawa perubahan dalam perjuangan melawan hukuman mati.
Penelitian Amnesty International Indonesia menunjukkan bahwa salah satu alasan utama tingginya tingkat hukuman mati di Indonesia adalah kebijakan “tidak ada toleransi” terhadap narkoba yang dijalankan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Tahun lalu, hukuman mati karena kejahatan narkoba mencapai 94 persen dari seluruh hukuman mati.
Menurut kelompok hak asasi manusia, dukungan terhadap pendekatan tanpa toleransi pada narkoba, sebagian didasarkan pada gagasan yang salah, bahwa hukuman mati dapat mengatasi kejahatan terkait narkoba. Ini tidak tepat. Karena, meskipun jumlah narapidana narkoba yang dijatuhi hukuman mati cukup tinggi, jumlah pengguna narkoba di Indonesia terus meningkat.
Para ahli mengatakan bahwa upaya untuk menghapus hukuman mati di Indonesia terhambat oleh popularitas “populisme hukuman”. Dalam proses itu, politisi dan pembuat kebijakan merancang kebijakan yang memperberat hukuman untuk mendapatkan dukungan dari pemilih.
Kita masih harus bekerja ekstra untuk menghapus hukuman mati. Namun melihat negara tetangga Malaysia mengakhiri hukuman mati untuk kejahatan tertentu, kami yakin perubahan akan terjadi juga di Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.