TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Manfaat kedekatan dengan petahana

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, October 27, 2023

Share This Article

Change Size

Manfaat kedekatan dengan petahana Presumptive presidential nominee Prabowo Subianto (left) and his running mate Gibran Rakabuming Raka (right) deliver a speech during their announcement as a candidate pair in next year's election at Indonesia Arena multipurpose indoor stadium on Oct. 25, 2023. Prabowo and Gibran registered themselves with the General Elections Commission (KPU) on the same day to run in the 2024 presidential election. (Antara/Galih Pradipta)
Read in English
Indonesia Decides

Situasi baru saja mereda, ketika pada Rabu, 25 Oktober, Ketua Partai Gerindra, Prabowo Subianto, mendaftarkan diri sebagai calon presiden untuk pemilu 2024. Sebelumnya, kondisi sempat menghangat akibat keputusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK), yang berpihak pada putra Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Gibran Rakabuming Raka,

Tentu saja yang berdiri di sisi Prabowo saat pendaftaran adalah Gibran yang berusia 36 tahun. Setelah seminggu bolak-balik menyambangi para pemimpin partai politik anggota koalisi yang berkuasa, akhirnya Gibran terpilih sebagai calon wakil presiden untuk dipasangkan dengan Prabowo yang berusia 72 tahun.

Pasangan ini sangat ganjil. Namun, partai-partai dalam koalisi yang berkuasa jelas berpikir bahwa inilah calon terbaik mereka yang berkesempatan memenangkan pemilihan presiden tahun depan. Dengan adanya pasangan Prabowo-Gibran yang mendaftar pada Rabu lalu, persaingan untuk menggantikan presiden petahana kini mulai terbentuk. Seperti diketahui, presiden dilarang mencalonkan diri lagi, untuk yang ketiga kali, tetapi bersikeras tetap ingin memastikan jalannya pemerintahan setelah ia lengser.

Kini, lebih dari 204 juta pemilih yang terdaftar di Indonesia bisa mulai menilai sisi pro dan kontra dari kandidat pilihan mereka, betapapun terbatasnya pilihan tersebut.

Sebetulnya, bisa saja ada opsi menampilkan surat suara yang lebih menarik dan lebih berwarna. Namun, para pialang kekuasaan dan partai politik pasti berpikir bahwa tiga pasangan yang semuanya laki-laki Jawa, yang sebagian besar berusia lima puluhan, sudah memenuhi keinginan masyarakat pemilih untuk pemilihan presiden tahun depan.

Tentu saja banyak yang berpendapat bahwa Mahfud MD, yang menjadi pasangan calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo, harus dilihat sebagai wakil non-Jawa, mengingat asal usulnya dari Madura. Meskipun begitu, Mahfud berpengalaman sebagai profesor bidang hukum di Yogyakarta, jantung kebudayaan Jawa, sebelum masuk dunia politik pada akhir tahun 1990an.

Banyak juga yang berpendapat bahwa mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, karena keturunan Timur Tengahnya, tidak cocok dengan pola calon presiden Jawa tersebut. Namun, Anies pun tumbuh di Yogyakarta. Ia menyelesaikan sekolah menengah di kota pelajar itu sebelum mendaftar masuk Universitas Gadjah Mada (UGM). Ganjar dan Mahfud, seperti halnya Jokowi, juga merupakan alumni UGM.

Dengan lebih dari 102 juta pemilih perempuan yang artinya hampir 50 persen dari total jumlah pemilih terdaftar pada pemilu tahun depan, mengajukan kandidat perempuan tentunya lebih terlihat seperti strategi kemenangan bagi koalisi mana pun.

Namun, harapan adanya calon perempuan telah pupus, bahkan jauh sebelum partai politik mendaftarkan calon presiden dan calon wakil presiden mereka bulan ini.

Satu-satunya politisi perempuan yang benar-benar dipertimbangkan keterlibatannya adalah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Ia memang administrator terampil yang dianggap sebagai calon wakil presiden yang sesuai untuk Prabowo maupun Ganjar. Namun, ia diperhitungkan bukan karena ia perempuan, tetapi karena potensinya untuk menarik suara Nahdlatul Ulama (NU).

Keputusan memilih Gibran sebagai calon wakil presiden diambil dengan mempertimbangkan pemilih generasi muda, generasi Z, dan milenial. Bagaimanapun, kelompok usia ini mencakup lebih dari 30 persen pemilih terdaftar.

Namun, boleh saja ada argumentasi bahwa Indonesia punya lebih banyak orang yang lebih memenuhi syarat untuk mewakili generasi pemilih muda, jika dibandingkan putra seorang Presiden petahana. Sang putra tentu mendapatkan keuntungan tidak hanya dari tingginya tingkat rekomendasi ayahnya, namun juga dari strategi pengelolaan sumber daya pemerintah.

Dan kekuasaan di sekitar penguasa petahana inilah yang seharusnya mencemaskan.

Awal bulan ini, ketika ditanya apakah ia akan mendirikan dinasti politik di Indonesia setelah ada putusan MK, Presiden Jokowi mengatakan bahwa terserah pada masyarakat untuk memutuskan akan memilih Gibran atau tidak pada tahun depan. Kini, Gibran sendiri pun mengulang perkataan serupa. Di sisi lain, Prabowo telah mempertaruhkan diri dengan mengatakan bahwa membangun dinasti politik tidak ada salahnya, asalkan tujuannya membangun bangsa.

Namun, yang jadi masalah bukan hanya soal gender, kebijakan, serta terbatasnya pilihan yang bisa diambil kelompok demografi pemilih pada tahun depan. Pokok masalahnya adalah karena hanya ada satu pasangan calon yang bisa memetik manfaat dari adanya presiden petahana di dekat mereka.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.