anya sedikit pengamat yang tidak setuju bahwa naiknya Jenderal Agus Subiyanto, lulusan Akademi Militer tahun 1989, ke posisi yang lebih tinggi, ada kaitannya dengan kedekatannya dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Tak urung, pencalonan Agus untuk jabatan Panglima TNI hanya enam hari setelah pelantikannya sebagai Panglima Angkatan Darat telah menimbulkan banyak pertanyaan.
Ketua DPR Puan Maharani mengatakan pada hari Selasa bahwa dia telah menerima surat dari Presiden, yang meminta persetujuan DPR agar Agus diangkat menjadi Panglima TNI yang baru. Jika disetujui, Agus akan menggantikan Laksamana Yudo Margono yang pensiun pada akhir bulan ini.
Tentu saja, Jokowi tidak melanggar aturan dalam memilih Agus untuk jabatan Panglima TNI. Namun, masyarakat juga berhak mempertanyakan alasan yang membuat Agus dinilai memenuhi syarat untuk menduduki jabatan tertinggi dalam susunan militer tersebut. Agus memang seorang perwira kawakan dengan karier gemilang, tetapi ia belum cukup membuktikan layak sebagai Panglima Angkatan Darat.
Sejalan dengan Undang-Undang TNI tahun 2004, Jokowi dapat memilih KSAU atau KSAL saat ini. KSAU dan KSAL telah menjabat lebih lama dari Agus, yang menjadi wakil Panglima Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurrachman selama sekitar satu tahun terakhir.
Sebenarnya, jalur cepat yang dinikmati Agus tidak terlalu mengherankan, jika dibandingkan dengan mantan Jenderal Polri (Purn) Timur Pradopo, yang mendapat promosi dua kali dalam rentang waktu hanya 24 jam pada 2010 silam. Pada pagi hari, 4 Oktober, Timur adalah Kapolda Metro Jaya, jenderal bintang dua. Sore harinya, ia dilantik menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Kepolisian dengan pangkat komisaris jenderal. Malam harinya, ia dicalonkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala polisi yang baru, menjadi jenderal bintang empat.
Namun, situasi politik saat ini dan tahun 2010 sangatlah berbeda. Pada 2010 itu, SBY baru memasuki tahun pertama masa jabatan keduanya. Sementara, saat ini, Jokowi sedang menghadapi pemilihan presiden yang menentukan penggantinya. Dan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, ikut berkompetisi sebagai cawapres Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Gibran adalah Walikota Surakarta, Jawa Tengah, dua tahun ini.
Konstitusi memberi presiden hak prerogratif untuk memilih Panglima TNI. Wajar jika Jokowi, seperti para pendahulunya, akan memilih orang yang paling dipercaya untuk jabatan penting tersebut. Preferensi Jokowi sebelumnya terhadap Panglima TNI condong pada perwira yang telah ia kenal sejak ia menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.
Agus adalah Komandan Kodim Surakarta dari 2009 hingga 2011, ketika Jokowi menjadi Wali Kota. Pada Maret 2020, Agus ditunjuk sebagai Panglima Kodam Suryakencana yang membawahi, antara lain, kota Bogor. Di kota itu, Jokowi tinggal bersama keluarganya. Delapan bulan kemudian Agus diangkat menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), jabatan yang disandangnya selama sembilan bulan sebelum ia mengambil alih Pangdam Siliwangi yang membawahi Jawa Barat dan sebagian besar Banten. Setelah enam bulan bertugas di Kodam Siliwangi, Agus kembali ke Jakarta sebagai Wakil Panglima TNI pada Februari 2022.
Jelas sekali bahwa Agus selalu berada di dekat Jokowi selama tiga tahun terakhir, tanpa mengatakan bahwa Presiden telah mendidiknya untuk menjadi panglima militer.
Begitu pula dengan Jokowi yang mempercayakan jabatan tertinggi TNI kepada Marsekal TNI (Purn) Hadi Tjahjanto pada 2017. Jokowi mengenal Hadi sejak yang bersangkutan menjabat Komandan Lanud Adi Sumarmo pada 2010-2011. Jalan Hadi menuju jabatan Panglima TNI dimulai ketika ia menjabat sebagai Sekretaris Militer Presiden pada Juli 2015. Ia dipromosikan menjadi jenderal bintang tiga sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan pada Oktober 2016. Lalu Jokowi mengangkatnya menjadi Panglima TNI pada Januari 2017, yang membuatnya layak untuk memegang tongkat komando TNI.
Ini adalah saat tepat bagi Jokowi untuk menunjuk Agus sebagai Panglima TNI, karena saat ini menjelang pemilu. Karena itu, penting bagi para anggota parlemen dalam proses penunjukkan untuk mengupayakan komitmen Agus terhadap ketidakberpihakan TNI pada pemilu tahun depan. Pemilu mendatang diramalkan akan menjadi ajang persaingan sengit.
Demokrasi Indonesia akan menghadapi pasang surut saat pemilu Februari 2024. Karena itu, netralitas TNI menjadi keniscayaan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.