ntuk kota seperti Jakarta yang diakses oleh jutaan orang, yang keluar masuk melintas perbatasan kota pada setiap hari kerja, sistem angkutan umum yang menghubungkan kota ini dengan kota-kota satelitnya menjadi sangatlah penting. Sungguh sangat membuat putus asa jika ada yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pernyataan itulah yang menggambarkan operasional light rail ransit (LRT) Jabodebek sejauh ini.
Layanan kereta api yang menghubungkan Jakarta dan kota-kota di Jawa Barat, Bekasi dan Depok itu, terus menjadi berita utama sejak diluncurkan pada akhir bulan Agustus. Berita yang mendominasi adalah soal penundaan jadwal yang terjadi berulang kali, akibat berbagai sebab. Misalnya karena kerusakan pintu yang menyebabkan penumpang menunggu 40 menit hingga kereta pengganti tiba, atau adanya penghentian layanan secara tiba-tiba akibat pemadaman listrik.
Bahkan sebelum peluncuran komersialnya, pihak berwenang harus menunda uji coba untuk memperbaiki masalah yang ada di perangkat lunak.
Media juga melaporkan adanya masalah dengan sistem pengumuman publik di layanan tersebut. Juga bahwa perjalanan dengan kereta yang dibuat oleh PT Industri Kereta Api (INKA) milik pemerintah menjadi kurang nyaman jika dibandingkan dengan perjalanan menggunakan MRT Jakarta yang diluncurkan pada 2019. Alasannya, sistem pengereman di kereta buatan PT INKA lebih keras dan akselerasi yang tidak stabil.
Yang lebih memprihatinkan adalah roda kereta yang cepat aus. Operator kereta milik negara PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang juga mengelola LRT Jabodebek, mengakui pada 25 Oktober bahwa terdapat 103, dari 234, jadwal perjalanan per hari yang dibatalkan karena banyak kereta yang rusak. Pembatalan sebanyak itu, artinya mencapai 44 persen. Rasio pembatalan jadwal kereta api sebesar itu sungguh tidak dapat diterima dan sangat mengurangi kapasitas dan kenyamanan penumpang.
Yang lebih tidak dapat diterima lagi adalah tanggapan pemerintah. Menteri Perhubungan dilaporkan mengatakan bahwa dia “tidak kecewa” menghadapi layanan kereta api baru tersebut. Ia katakan bahwa proyek LRT adalah proyek pertama INKA dalam membangun kereta semacam itu. Kalau demikian, yang jadi pertanyaan adalah, apakah bijaksana jika sebuah proyek manufaktur dari program transportasi massal yang begitu penting dijadikan eksperimen? Transportasi massal adalah hal krusial bagi kota padat penduduk yang selama ini menanggung kerugian akibat kemacetan dan polusi tiada henti.
Kebanggaan dan patriotisme nasional dalam menggunakan sarana perkeretaapian yang diproduksi di dalam negeri sesungguhnya dapat dimengerti. Namun, transportasi merupakan hal yang mendesak bagi negara. Karena itu, semua harus dilihat dari sudut pandang pelayanan publik, dan bukan dari sisi pembangunan industri.
Tentu saja tidak ada orang yang sempurna, namun LRT Jabodebek dimulai dengan awal yang lebih buruk jika dibandingkan dengan LRT Jakarta dan MRT Jakarta. Fakta bahwa sistem LRT dan MRT Jakarta dibuat oleh perusahaan berpengalaman bisa jadi ada hubungannya dengan hal tersebut.
LRT Jakarta menggunakan kereta yang dibangun oleh Hyundai Rotem Korea Selatan. Perusahaan tersebut punya pengalaman industri sejak 1970an. Sedangkan yang membuat sarana kereta untuk MRT Jakarta adalah Nippon Sharyo dari Jepang, yang sejarahnya sudah lebih panjang lagi.
Kereta api umum, bus, dan metromini yang melayani Jakarta sudah menjadi sesuatu yang carut marut sehingga hanya para pendukung angkutan massal, atau mereka yang tidak punya cukup uang, yang bersedia menggunakan moda transportasi yang tidak terintegrasi. Mereka seringkali harus berjalan jauh di jalur yang tidak nyaman. Masyarakat yang lain bisa memanggil taksi atau memesan ojek daring Grab atau Gojek untuk menghemat banyak kerumitan dan waktu.
Pihak berwenang harus melakukan segalanya untuk mempermudah hidup mereka yang membantu mengurangi kepadatan jalan di kota. Sayangnya, pemerintah tampaknya terobsesi dengan gagasan swasembada dalam segala hal, mulai dari gula dan beras hingga panel surya dan vaksin COVID-19. Meskipun swasembada merupakan tujuan mulia, biaya dan manfaatnya perlu dipertimbangkan secara cermat. Harus dihitung proyek demi proyek. Misalnya, Indonesia masih bergantung pada pesawat buatan asing karena biaya penggunaan pesawat rakitan dalam negeri sebagai alternatif akan sangat mahal.
Infrastruktur transportasi merupakan misi penting bagi perekonomian di belahan dunia mana pun, karena meningkatkan efisiensi kehidupan masyarakat dan aktivitas bisnis secara keseluruhan. Kebijakan industri dan keterlibatan individu harus diutamakan dalam proyek-proyek tersebut.
Tapi tidak ada gunanya menangisi sesuatu yang sudah telanjur terjadi. Sistem LRT telah hadir, jadi cara terbaik ke depan adalah memperbaikinya dengan menyelesaikan masalah mendasarnya.
Diperlukan keahlian teknis untuk membenahi LRT Jabodebek. Jika hal tersebut tidak tersedia di dalam negeri, sebaiknya pemerintah tak usah memaksakan diri.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.