etelah berulang kali ditinjau antara tahun 2020 hingga Juni tahun ini, akhir bulan lalu Indonesia akhirnya diterima menjadi anggota Financial Action Task Force (FATF). FATF merupakan organisasi antarpemerintah yang berbasis di Paris, didirikan untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris. Hal ini merupakan bukti komitmen kuat pemerintah terhadap standar internasional dalam memerangi uang haram.
Keanggotaan FATF akan meningkatkan kepercayaan terhadap sistem keuangan Indonesia, sehingga akan lebih menarik bagi para investor asing. Hal ini pada gilirannya akan memudahkan dunia usaha Indonesia untuk mengakses pasar keuangan dan perdagangan internasional, yang kemudian berkontribusi terhadap peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Bank-bank di Indonesia, misalnya, akan lebih mudah berhubungan dengan bank-bank dari negara sesama anggota FATF, sehingga akan mengurangi biaya dan waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis internasional. Sedangkan dunia usaha di Indonesia akan lebih mudah mendapatkan modal, karena para investor asing akan lebih percaya pada sistem keuangan Indonesia.
Dengan menjadi anggota FATF, Indonesia punya akses terhadap jaringan pakar dan sumber daya global di 40 anggota FATF. Sehingga, keanggotaan FATF akan membantu Indonesia meningkatkan kapasitas kelembagaan dan jajaran anti pencucian uang (anti-money laundering atau AML) untuk memerangi uang kotor serta lebih berdaya melacak penjahat. Anggota FATF meliputi Gulf Cooperation Council (Dewan Kerja Sama Teluk) serta the European Commission (Komisi Eropa).
Namun, ada tantangannya. Pemerintah harus memperkuat jajaran AML untuk memastikan bahwa seluruh aparat sepenuhnya mematuhi standar FATF. Hal tersebut memerlukan beberapa perubahan pada undang-undang dan peraturan Indonesia. Tentunya, diperlukan juga pelatihan yang lebih intensif dan peningkatan kapasitas para profesional di bidang penegakan hukum dan keuangan.
Lembaga penegak hukum, terutama Kepolisian Negara, jaksa penuntut umum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin banyak menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk mendeteksi dan mengadili kasus-kasus korupsi dan berbagai tindak pidana lainnya. Meski demikian, kita patut mengakui bahwa pencucian uang masih merajalela di negara ini.
Ada dua masalah utama yang menghambat penegakan tegas UU Pencucian Uang. Salah satunya adalah kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum, khususnya jaksa, hakim, dan polisi mengenai praktik pencucian uang. Padahal, praktik tersebut mungkin tersembunyi dalam transaksi yang semakin kompleks.
Namun yang lebih mengecewakan adalah banyak hakim yang masih berpendapat bahwa hukuman dalam kasus pencucian uang harus didasarkan pembuktian terkait kejahatan asal yang menjadi sumber uang yang dijadikan objek pencucian uang. Catatan hukum ini sering dianggap sebagai cacat yang kerap membuat frustasi para pejabat KPK dan jaksa yang bersusah payah membangun kasus pencucian uang. Pejabat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga intelijen keuangan juga kerap patah semangat karena analisis dan laporan transaksi mencurigakan yang dinilai tidak wajar rutin dikirimkan ke KPK, kepolisian, dan Kejaksaan Agung, tetapi sering diabaikan karena ketidakmampuan teknis atau ada itikad buruk.
Undang-Undang TPPU yang terakhir diubah pada 2010, sebenarnya cukup ampuh untuk mencegah korupsi. Alasannya, tidak seperti kasus pidana konvensional, tanggung jawab pembuktian dialihkan dari jaksa ke terdakwa. Yang bersangkutan harus membuktikan bahwa aset diperoleh atau dimiliki melalui cara yang sah. Undang-undang bahkan dengan jelas mengatur bahwa perkara pencucian uang tidak perlu melalui pembuktian kejahatan asal lebih dulu.
Kendala besar kedua dalam pemberantasan pencucian uang adalah kurangnya kerja sama dari pihak lain, yang secara hukum diwajibkan oleh PPATK untuk melaporkan setiap transaksi keuangan yang mencurigakan. Pihak pelapor yang ditunjuk mencakup berbagai penyedia jasa keuangan seperti tempat penukaran uang (money changer), penyedia pembayaran kartu dan uang elektronik, koperasi simpan pinjam, jasa gadai, pedagang komoditas berjangka, jasa pengiriman uang, diler kendaraan, pedagang perhiasan, dan balai lelang.
Pihak-pihak tersebut wajib mematuhi kode prinsip mengenal pelanggan yang ditetapkan oleh badan pengatur atau penasihat terkait. Namun banyak dari mereka yang mengabaikan kode etik ini karena takut kehilangan nasabah besar. Sementara di sisi lain, pengawasan dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sangat buruk. Bukti dari persidangan terhadap pejabat korup dan penjahat lainnya menunjukkan betapa banyak bank dan money changer yang masih melakukan transaksi dengan nasabah meskipun profil mereka tidak sesuai dengan nilai dan besaran transaksi.
Sebagai anggota FATF, Indonesia akan menjalani evaluasi dan tinjauan sejawat FATF yang ketat untuk menilai kepatuhannya terhadap standar AML internasional. Namun, Indonesia juga berhak atas bantuan teknis untuk mendukung negara ini menerapkan dan mematuhi standar AML internasional.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.