TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Saatnya tanda tangani perjanjian pengungsi

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, November 22, 2023

Share This Article

Change Size

Saatnya tanda tangani perjanjian pengungsi A newly arrived Rohingya refugee walks to the beach after the local community decided to temporarily allow them to land for water and food in Ulee Madon, Aceh, Indonesia, on Nov. 16, 2023. (AFP/Amanda Jufrian)
Read in English

K

edatangan pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar baru-baru ini, secara mengejutkan, mendapat tentangan dari masyarakat lokal di Aceh. Padahal, masyarakat Aceh menyambut hangat kedatangan pengungsi warga Rohingya dalam gelombang kedatangan yang sebelumnya. Sambutan diberikan atas dasar kemanusiaan dan atas nama persaudaraan Islam.

Tampaknya sambutan masyarakat Aceh pada kehadiran pengungsi sudah mulai berkurang.

Selama bertahun-tahun warga Rohingya telah mendarat dan ditampung di beberapa tempat di provinsi paling barat Indonesia tersebut. Beberapa dari mereka telah memusingkan tuan rumah. Ada yang melarikan diri dari tempat penampungan, melakukan tidak kejahatan, meskipun kecil-kecilan, bahkan ada yang terlibat dalam perdagangan manusia.

Indonesia selalu menjadi negara yang menyambut baik para pencari suaka, meski tidak termasuk dalam negara yang ikut menandatangani Konvensi Jenewa Terkait Status Pengungsi tahun 1951.

Pada akhir 1970-an, di akhir kekalahan Amerika Serikat di Vietnam, terjadi eksodus massal orang-orang dari bekas wilayah Vietnam Selatan yang melarikan diri dari rezim komunis baru. Indonesia menyediakan Pulau Galang di Batam, yang saat itu berada di bawah kewenangan langsung pemerintah pusat, untuk menampung manusia perahu yang menunggu pemukiman kembali di negara-negara Barat.

Sekitar 250.000 pengungsi Vietnam tinggal di kamp pengungsi di pulau tersebut, yang dikelola bersama oleh pemerintah Indonesia dan badan pengungsi dunia, UNHCR. Para pengungsi tinggal di pulau tersebut dari 1979 hingga 1996.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Setelah itu, Indonesia kembali menerima gelombang baru pengungsi dari Afghanistan dan Irak. Para pengungsi tersebut meninggalkan tanah air mereka setelah invasi AS. Banyak dari pengungsi saat ini masih menunggu pemukiman kembali di negara-negara Barat, yang sekarang ini tampaknya enggan menerima lebih banyak pencari suaka, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun lalu.

Keengganan negara-negara Barat menerima pencari suaka semakin meningkat setelah perang saudara di Suriah pada 2012. Mereka menggunakan alasan ketidakcocokan budaya dan perbedaan nilai-nilai sebagai alasan untuk menolak pengungsi dari Timur Tengah.

Hingga bulan Mei, UNHCR mencatat lebih dari 12.000 pengungsi berlindung di Indonesia, menunggu proses pemukiman kembali.

Dengan segala keterbatasan, Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin untuk menampung para pengungsi yang sebagian besar berasal dari negara-negara mayoritas Muslim.

Berdasarkan hukum internasional, Indonesia sama sekali tidak punya kewajiban untuk menampung pengungsi. Namun, tanggung jawab negara ini terletak pada sila kedua dari ideologi Pancasila, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Dengan perekonomian yang belum kokoh dan tingkat pengangguran yang tinggi, Indonesia telah melakukan lebih banyak hal dibandingkan negara-negara penandatangan perjanjian. Sebut saja Australia, yang terus menolak kapal-kapal penuh pengungsi yang berusaha mencapai pantainya.

Australia bahkan melakukan intervensi dengan menawarkan kesempatan alih profesi kepada nelayan di Nusa Tenggara Timur. Hal itu merupakan upaya pencegahan untuk memutus jaringan transportasi pengungsi dari Indonesia.

Banyak negara Barat yang mendorong Indonesia menandatangani dan meratifikasi konvensi PBB tahun 1951. Namun, dorongan itu lebih untuk mengalihkan tanggung jawab mereka kepada Indonesia. Dorongan itu tentu saja membuat Indonesia secara resmi terbebani untuk menerima pengungsi. Padahal, para pengungsi pun tidak ingin tinggal di sini.

Kritik serupa juga dilontarkan terhadap Bali Process. Forum ini dijadikan alibi oleh negara tujuan untuk menghindari tanggung jawab dan mengalihkan kewajibannya ke negara transit.

Namun, seiring membaiknya perekonomian Indonesia, yang ditandai dengan kembalinya status Indonesia negara berpendapatan menengah dan rencana negara ini bergabung dengan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (Organisation of Economic Cooperation and Development atau OECD), pemerintah harus memikirkan kembali penolakannya untuk menandatangani konvensi tahun 1951.

Alasannya bukan hanya karena Indonesia punya sumber daya yang cukup untuk menampung para pengungsi. Faktanya, nyaris tak satupun dari mereka yang ingin menetap di negara ini. Namun, dengan mengizinkan para pengungsi untuk tinggal di sini akan memungkinkan kita akan dipandang secara moral lebih tinggi, jika dibandingkan dengan negara-negara Barat.

Indonesia hanya perlu melakukan yang sudah dikatakan secara konsisten.

Sila kedua Pancasila tentang kemanusiaan membenarkan keputusan Indonesia untuk menerima pengungsi. Sila tersebut juga sejalan dengan pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: “ikut serta mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Memang, menerima pengungsi tidak akan menghilangkan keharusan menyelesaikan akar penyebab konflik, atau apa pun, yang menyebabkan eksodus.

Meski demikian, menerima pengungsi akan menunjukkan keseriusan Indonesia dalam membantu meringankan beban para pengungsi sekaligus mengupayakan solusi damai di negara asal mereka.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.