TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Tidak ada tempat untuk UU siber yang tak liberal

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, December 6, 2023

Share This Article

Change Size

Tidak ada tempat untuk UU siber yang tak liberal Members of the Corruption Eradication People’s Committee rally outside the State Palace on Jan. 8, 2019, to demand that the government abolish articles in the Electronic Information and Transactions (ITE) Law they deem to be a threat to the freedom of expression. (JP/Seto Wardhana)
Read in English

K

etika para pengambil kebijakan menyelesaikan pembahasan revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tanpa konsultasi publik yang berarti, kemungkinan besar kita akan terus hidup di bawah hukum siber yang tidak liberal.

Sangat memprihatinkan bahwa anggota badan eksekutif dan legislatif memilih untuk merahasiakan diskusi mereka terkait RUU penting tersebut dari pengawasan publik. Ketika kita semakin bergantung pada teknologi digital untuk melakukan tugas sehari-hari, yang telah mengubah kita semua menjadi netizen, seharusnya wajar saja jika kita punya suara dalam pembentukan supremasi hukum di dunia maya.

Dikhawatirkan bahwa RUU tersebut akan mempertahankan ketentuan-ketentuan spesifik yang bertentangan dengan kebebasan daring, sehingga semakin memperkuat sifat tidak liberal dari tata kelola digital. Hal ini terjadi bahkan ketika para pengambil kebijakan menyatakan bahwa revisi tersebut dilakukan untuk menanggapi tuntutan masyarakat agar undang-undang yang ada saat ini dibuat lebih lunak.

Selama lebih dari satu dekade, UU ITE telah menjadi ancaman besar terhadap kebebasan sipil kita. UU ITE pada dasarnya adalah inkarnasi digital dari undang-undang pencemaran nama baik warisan zaman colonial. Saat itu, undang-undanganya dikenal dengan nama haatzai artikelen. UU tersebut merupakan undang-undang karet, yang melayani kepentingan elit dengan mengorbankan masyarakat, khususnya mereka yang dianggap menantang hegemoni politik pemerintah kolonial. Kemanjurannya sebagai alat penindas sebanding dengan hukum lèse-majesté di Thailand. Perlu diketahui bahwa Thailand adalah salah satu negara dengan skor kebebasan daring terendah di kawasan.

Saat editorial ini ditulis, dua aktivis hak asasi manusia sedang menghadapi tuntutan  hukuman penjara bertahun-tahun karena berpendapat secara kritis melalui kanal Youtube. Mereka mengkritik seorang menteri senior kabinet. Kasus mereka adalah sebuah contoh yang jelas tentang hukum siber saat ini yang hanyalah sebuah senjata politik untuk membungkam opini-opini kritis. Ketentuan semacam ini harus kita cabut dari undang-undang.

Para pengambil kebijakan mungkin telah memutuskan untuk mencabut ketentuan pencemaran nama baik secara daring. Bagaimana pun, ketentuan tersebut akan segera diatur dalam KUHP yang baru direvisi. Namun, para aktivis khawatir bahwa RUU tersebut masih memuat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspresi di ranah digital.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Masalahnya, pembahasannya kebanyakan dilakukan secara tertutup. Baik anggota parlemen maupun pejabat pemerintah, seperti yang telah kami laporkan sebelumnya, tidak mengungkapkan rincian ketentuan apa saja yang diubah dalam amandemen tersebut.

Yang kami tahu adalah mereka mengubah 14 pasal dalam undang-undang tersebut, termasuk pasal yang digunakan untuk mengadili kritikus di ranah daring, dan menambahkan lima pasal baru. Namun, hal ini tidak berarti bahwa undang-undang tersebut akan menghapuskan ketentuan apa pun terkait sensor daring, mengingat dunia maya kita masih dikotori konten sarat fitnah, hasutan, dan pornografi.

Beberapa rancangan undang-undang sebelumnya memuat ketentuan yang memperluas kewenangan pemerintah dalam memoderasi konten dunia maya yang dianggap melanggar hukum atau merugikan ketertiban umum. Pemerintah dapat memutus akses internet terhadap konten tersebut. Pemerintah juga akan diberi kewenangan menginstruksikan penyedia layanan elektronik untuk melakukan moderasi konten terhadap informasi yang dianggap “mengancam keselamatan masyarakat atau kesehatan masyarakat”.

Selain itu, versi lain dari rancangan amandemen tersebut mengamanatkan perluasan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kementerian untuk membekukan akun media sosial, serta rekening bank, dan uang elektronik dari situs-situs yang melanggar hukum. Masih belum jelas apakah ada ketentuan yang jelas dalam RUU tersebut yang dapat berfungsi sebagai perlindungan terhadap penyalahgunaan.

Dewan Perwakilan Rakyat diperkirakan akan menyetujui revisi tersebut pada sidang paripurna berikutnya, sehingga ada sedikit peluang bagi kelompok masyarakat sipil untuk mengajukan argumen mereka terhadap ketentuan-ketentuan yang berpotensi tidak liberal dalam RUU tersebut. Ini adalah taktik pembuatan undang-undang yang telah berulang kali dikecam karena tidak demokratis. Para pembuat kebijakan membuat undang-undang yang menyangkut kepentingan publik tanpa berkonsultasi dengan publik adalah sangat tidak demokratis. Mereka mengklaim bahwa mereka ingin memiliki “pikiran yang lebih jernih dalam mempertimbangkan revisi tersebut”. Kemungkinan lain, ada anggapan lama bahwa masyarakat masih dapat menggugat undang-undang tersebut di Mahkamah Konstitusi.

Tampaknya pragmatisme radikal begitu meluas di kalangan pejabat publik sehingga kita bertanya-tanya apakah kita masih punya jalur hukum untuk meminta pertanggungjawaban pembuat kebijakan, bahkan dalam hal-hal yang berdampak langsung pada kehidupan kita sehari-hari. Masalah ini tidak bisa dibiarkan.

DPR harus menunda pengesahan undang-undang siber yang baru dan memastikan masyarakat mendapatkan konsultasi yang memadai mengenai substansi penting undang-undang tersebut. Kita tidak bisa lagi menerapkan hukum siber yang tidak liberal, terlebih ketika demokrasi kita perlahan-lahan juga melemah.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.