TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Utang bukan sekadar angka

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Thu, January 11, 2024

Share This Article

Change Size

Utang bukan sekadar angka Every dollar counts: A teller counts United States dollar banknotes on Oct. 4, 2022, at a money changer in Jakarta. (Antara/Muhammad Adimaja)
Read in English

D

alam ajang debat pemilu yang baru lalu, yang diselenggarakan pada Minggu 7 Januari, tema yang diangkat untuk adu gagasan para kandidat  presiden adalah kebijakan luar negeri dan pertahanan. Ajang itu sempat berubah menjadi perdebatan sengit saat membahas mengenai defisit belanja dan utang pemerintah.

Sebagai Menteri Pertahanan, calon presiden Prabowo Subianto paham betul tentang belanja negara yang memerlukan biaya besar. Meskipun ia memuji rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) yang relatif rendah sebagai pencapaian pemerintahan saat ini, ia tampaknya juga menafsirkan hal itu sebagai peluang untuk mengambil lebih banyak utang.

Saat ini, rasio utang Indonesia hanya di bawah 40 persen PDB. Menurut Prabowo, “Kita bisa berutang lagi hingga 50 persen. Sama sekali tidak ada masalah.”

Dalam debat yang sama, calon presiden saingan Prabowo, Anies Baswedan, mengusulkan hal sebaliknya, yaitu menurunkan rasio tersebut hingga “maksimal 30 persen PDB”.

Para analis yang diwawancara The Jakarta Post telah memperingatkan mengenai kedua hal tersebut. Rasio utang pemerintah yang terlalu tinggi berisiko mengurangi kepercayaan pasar terhadap stabilitas fiskal Indonesia. Sementara, rasio utang yang terlalu rendah juga dapat menghambat pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Kandidat ketiga, Ganjar Pranowo, selama debat tidak mengajukan gagasan apa pun terkait penetapkan target untuk rasio utang terhadap PDB. SIkapnya itu terlihat bijaksana, mengingat topik rasio utang adalah hal yang terlalu rumit dan melibatkan terlalu banyak faktor untuk bisa direduksi menjadi satu masalah saja.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Menurut data IMF pada 2022, dibandingkan dengan negara maju dan bahkan negara berkembang lainnya, rasio utang Indonesia terhadap PDB memang rendah, yaitu sekitar 39 persen. Bandingkan dengan Thailand yang sebesar 54 persen, Malaysia yang mencapai 60 persen, dan Brasil yang sebesar 81 persen, serta 110 persen di Amerika Serikat.

Penting untuk dicatat bahwa undang-undang di Indonesia menetapkan batas maksimum utang pemerintah sebesar 60 persen dari PDB. Mengingat sejarah perekonomian Indonesia, sangat tidak bijaksana untuk mengambil utang hingga jumlahnya mendekati batas tersebut.

Krisis keuangan Asia pada 1997-1998 mengakibatkan penumpukan utang pemerintah nasional. Utang ini kemudian menjadi tidak terkendali ketika rasio utang terhadap PDB melonjak hingga hampir 90 persen.

Karena itu, rasio utang yang mendekati angka 60 persen akan menimbulkan ketakutan pada pasar keuangan. Namun, angka suku bunga yang masih jauh dari 60 persen, misalnya 30 persen, atau 42 persen, atau bahkan 50 persen, tidak akan menimbulkan kekhawatiran. Tentu jika sudah jelas perhitungan ekonominya dan dikomunikasikan dengan baik.

Faktor-faktor lain juga ikut berkontribusi pada suku bunga. Misalnya, faktor apakah suatu negara meminjam dari pasar dalam negeri atau dari luar negeri, yang seringkali menimbulkan risiko nilai tukar. Tingkat suku bunga di Jepang yang sangat tinggi, yaitu 214 persen, misalnya, tidak terlalu mengkhawatirkan meski nominalnya tampak besar. Pasalnya, ada fakta bahwa sebagian besar utang bersumber dari dalam negeri dengan suku bunga yang sangat rendah.

Bukannya tidak peduli. Tapi daripada membuang-buang waktu untuk membahas besarnya utang, kita seharusnya lebih banyak membicarakan cara membelanjakan dana publik. Harus jelas, dari mana pun sumber dananya, pinjaman atau bukan. Kualitas pembelanjaan sangat menentukan apakah suatu utang bisa dianggap masuk akal atau tidak. Misalnya, berutang untuk membeli rumah dianggap masuk akal. Utang untuk berlibur, kadang masih bisa dibenarkan. Tapi meminjam uang untuk bertaruh di meja judi adalah tindakan yang sangat bodoh.

Kunci dari pinjaman yang terjangkau bagi negara adalah meyakinkan para pelaku pasar tentang para manajer keuangan yang bijaksana sedang menjalankan tugasnya, baik di Kementerian Keuangan maupun di bank sentral. Tingkat kepercayaan terhadap pengelolaan anggaran pemerintah berdampak langsung pada biaya pinjaman, karena kurangnya kepercayaan akan risiko pada premi kupon obligasi pemerintah.

Bukan rahasia lagi bahwa kepercayaan investor terhadap stabilitas fiskal dan pasar keuangan Indonesia sebagian besar disebabkan oleh kepemimpinan yang berjalan di Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Banyak yang berharap kepemimpinan mereka dilanjutkan lagi.

Berdasarkan kepercayaan tersebut, utang publik untuk tujuan pembangunan ekonomi dapat dibenarkan dan dapat dinilai sebagai utang yang terjangkau. Peningkatan pinjaman untuk membangun infrastruktur ibu kota Indonesia di masa depan, misalnya, harus menarik lebih banyak keterlibatan sektor swasta dan menghasilkan efek berganda.

Tanpa hal ini, Visi Indonesia 2045 bisa jadi hanya akan menjadi sekadar visi belaka.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.