TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Jangan siram bara dengan bensin

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Fri, January 12, 2024

Share This Article

Change Size

Jangan siram bara dengan bensin Presidential candidates Prabowo Subianto (left), Ganjar Pranowo (center) and Anies Baswedan (right) stand on the stage during the third presidential debate for the 2024 election at Istora Senayan in Jakarta on Jan. 7, 2024. (AFP/Adek Berry)
Read in English
Indonesia Decides

Debat presiden terbaru pada 7 Januari lalu bisa jadi merupakan perdebatan yang paling sengit di antara para kandidat presiden, sejauh ini. Berbeda dengan debat pertama di bulan lalu, ketika ketiga pihak yang bersaing berbaur dan berjabat tangan setelah ajang debat usai, dalam acara pada hari Minggu tersebut, tampak Prabowo Subianto dan Anies Baswedan menghindar untuk bersalaman. Sungguh hal yang tidak biasa.

Yang lebih buruk lagi, alih-alih menyerukan agar penonton menjaga ketenangan, para kandidat dan tim kampanye mereka justru sengaja membiarkan suasana permusuhan menyelimuti semua yang hadir di lokasi. Munculnya komentar-komentar bernada menghasut, yang dapat memicu kebencian di kalangan pendukung di akar rumput, jika dibesar-besarkan.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga sempat mengungkapkan kekecewaannya terhadap debat hari Minggu. Menurutnya, ajang itu terlihat jauh dari “semangat mendidik” para pemilih, karena kandidat dibiarkan fokus pada “serangan” yang sifatnya personal. Jokowi memperjelas bahwa yang ia maksud menyerang adalah ketiga calon presiden. Namun, mengingat sikapnya yang sangat menunjukkan keberpihakan pada Prabowo, banyak yang percaya bahwa Presiden sedang membela sang Menteri Pertahanan.

Memang benar, Prabowo, yang secara konsisten mengungguli kedua pesaingnya dengan selisih cukup besar dalam jajak pendapat, terus-menerus diserang oleh Anies dan Ganjar Pranowo. Hal itu terjadi sejak di debat pertama. Meskipun masih harus dilihat apakah debat calon presiden akan mempengaruhi keputusan pemilih, baik Anies maupun Ganjar tidak punya pilihan selain membuat Prabowo terlihat buruk untuk menutup kesenjangan yang ditampakkan hasil jajak pendapat, sebelum hari pemungutan suara pada 14 Februari.

Bagi Prabowo, berada di pihak yang dicecar pertanyaan menyudutkan secara terus-menerus adalah konsekuensi dari pilihannya membangun aliansi dengan Jokowi. Padahal, ia bersaing dengan Jokowi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, dan kalah. Dengan pengalaman itu, majunya Prabowo sebagai calon presiden seperti mewakili status quo. Karena itu, ia harus membuktikan bahwa dirinya layak menerima tongkat kepemimpinan yang akan diserahkan Jokowi pada bulan Oktober nanti.

Prabowo telah membangun citra baru melalui kampanyenya. Ia menggunakan istilah “gemoy” yang populer di kalangan muda untuk menggambarkan sosok yang “menggemaskan”. Citra itu berbeda dengan sifat pemarah yang identik dengannya selama ini. Namun, caranya menanggapi pertanyaan-pertanyaan tertentu dari dua rivalnya pada ajang debat yang disiarkan di televisi telah mengirim pesan pada publik bahwa ia tidak banyak berubah. Tanggapannya sering emosional. Bisa saja ia memang tidak suka pada pertanyaan-pertanyaan itu karena tidak siap diserang dengan cara semacam itu. Seharusnya, dia bisa membuat suasana lebih netral dengan dukungan data yang meyakinkan.

Sangat penting bagi semua kandidat untuk tetap tenang, bahkan dalam perdebatan sengit seperti itu. Ketenangan tidak hanya akan memungkinkan mereka mengomunikasikan pemikiran dan ide secara lebih jelas. Lebih jauh, ketenangan akan membantu mereka menciptakan lingkungan yang terhindar dari konflik dan ketegangan.

Sebaliknya, ledakan emosi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Jawaban emosional dapat mengaburkan penilaian masyarakat dan membuat mereka memilih secara impulsif. Sedangkan pilihan semacam itu mungkin tidak memberi manfaat terbaik bagi negara yang sangat majemuk seperti Indonesia.

Jika kita melihat lebih dekat ajang debat pertama dan ketiga, kita akan mendapat kesan bahwa Prabowo dan Anies menyimpan dendam. Bukan hal yang mengherankan karena mereka berada di kubu yang sama saat pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2017. Mereka juga sepihak ketika pemilihan presiden pada 2019. Aliansi tersebut runtuh setelah rabowo setuju untuk bergabung dengan koalisi besar yang membentuk pemerintahan Jokowi usai pemilu yang sengit lima tahun lalu.

Seperti yang diungkapkan oleh Kennedy Muslim dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia, Prabowo menganggap Anies sebagai ancaman terbesarnya, mengingat mereka punya basis pendukung yang sama. Bagi Prabowo, Anies semakin berbahaya jika berhasil maju ke putaran kedua. Jika hal itu terjadi, Anies bisa memikat banyak pendukung Ganjar atau mereka yang kesal dengan “tindakan pengkhianatan” yang dilakukan Jokowi.

Sekadar catatan, Anies mengalahkan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, sang petahana, dalam pemilihan gubernur Jakarta pada 2017. Sebagian besar kemenangan Anies diperoleh dari pemilih yang memberikan suara untuk Anies hanya untuk menjegal kemenangan Ahok, karena Ahok adalah pilihan Jokowi.

Namun, apa pun motif yang melatarbelakangi keinginan para kandidat untuk memenangkan pemilu, sebaiknya mereka menahan diri untuk tidak mengobarkan api permusuhan melalui pernyataan, apalagi hasutan, terkait lawan-lawannya. Para kandidat, serta para elit politik yang mendukung mereka, seharusnya mempromosikan perdamaian dan menjaga ketenangan para pendukung akar rumput mereka.

Bagaimanapun, pemilu diartikan sebagai festival demokrasi. Karena itu, biarkan masyarakat menggunakan haknya secara bebas dan adil.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.