TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Megawati vs. Jokowi: Siapa pemenangnya?

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Sat, January 13, 2024

Share This Article

Change Size

Megawati vs. Jokowi: Siapa pemenangnya? Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) chair Megawati Soekarnoputri (fourth right) poses for a photo with Vice President Ma'ruf Amin (second left), House of Representatives Speaker Puan Maharani (left), party high-ranking official Prananda Prabowo (second right), acting United Development Party (PPP) chairman Muhammad Mardiono and presidential candidate Ganjar Pranowo (third right) during the party's 51st anniversary celebration in Jakarta on Jan. 10, 2024. (Antara/M Risyal Hidayat)
Read in English
Indonesia Decides

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai yang berkuasa, Megawati Soekarnoputri, minggu ini melancarkan serangan lagi terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Pertikaian antara dua pemimpin tersebut semakin memanas dengan makin dekatnya hari pemilihan presiden bulan depan. Dalam pidato untuk memperingati ulang tahun ke-51 PDIP pada Rabu 12 Januari, sang ketua hanya menyinggung soal “mereka yang haus kekuasaan”. Ia memang tidak menyebut nama Presiden sama sekali, dan tampak masih ingin menahan Jokowi menggunakan segala upaya.

Perkataan Megawati nampak terukur, cukup untuk menunjukkan kemarahan di hadapan para pendukung partai. Namun, tindakannya sekadar memperlihatkan rasa tidak suka, tanpa memutuskan hubungannya yang makin kompleks dengan Presiden, yang hingga saat ini masih tetap populer di tengah masyarakat.

Pada pemilu 14 Februari mendatang, Megawati mendukung pencalonan mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sementara itu, Jokowi mendukung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Prabowo mencalonkan diri bersama putra Presiden yang berusia 36 tahun, Gibran Rakabuming Raka.

Secara konstitusi, Jokowi dilarang mencalonkan diri lagi setelah dua periode menjabat. Namun, ia telah menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi jalannya pemilu, termasuk dengan mendorong sang putra mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Ia menang pada 2014 dan 2019 didukung oleh kubu PDIP. Setelah menjadi kingmaker, posisinya di atas Megawati. Hal itu ditunjukkan oleh sebagian besar hasil survei, yang menempatkan Prabowo di posisi teratas di antara tiga kandidat. Ganjar tertinggal di posisi ketiga, di belakang mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.

Kekalahan tersebut menjelaskan alasan Megawati sangat berhati-hati dalam berpidato. Partainya tidak hanya berisiko kehilangan kesempatan menjadi presiden, tetapi posisi PDIP sebagai partai terbesar juga terancam. Banyak pendukung partai tersebut, yang memberikan suara untuk PDIP pada pemilu yang lalu, tahun ini mengatakan bahwa mereka akan beralih memilih partai lain demi mengikuti arahan Jokowi. Survei opini menunjukkan bahwa PDIP kehilangan sebagian besar suara yang diperolehnya pada 2019. Saat ini posisinya bersaing dengan Gerindra, partai yang didirikan dan diketuai oleh Prabowo. Kondisi ini akan menjadi pukulan ganda bagi PDIP, jika ia kalah dalam perolehan suara dalam pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif secara bersamaan.

Tidak luput dari perhatian Megawati bahwa beberapa peristiwa yang terjadi baru-baru ini menunjukkan keberpihakan militer, polisi, dan pegawai negeri sipil – yang semuanya berada di bawah kendali Presiden – dalam mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Sebagai mantan presiden, ia mengingatkan agar anggota tiga lembaga negara tersebut tidak melupakan sumpah mereka untuk menjaga netralitas dalam pemilu.

Menurut Megawati, PDIP menang pemilu legislatif 2014 dan 2019 karena rakyak mendukung partai, bukan mendukung presiden yang diusung partai. Klaim tersebut akan diuji kebenarannya pada 14 Februari, saat PDIP maju pemilu tanpa Jokowi. Sekadar catatan, partai ini menempati posisi kedua dalam dua pemilu yang telah lewat, yaitu pada tahun 2004 dan 2009.

Megawati tahu dia harus benar-benar memanfaatkan kesempatan. PDIP telah memecat Gibran dan menantu Jokowi, Bobby Nasution, karena dinilai tidak mengikuti kebijakan partai. Padahal, keduanya maju dalam pemilihan wali kota dengan dukungan PDIP. Gibran terpilih sebagai Wali Kota Surakarta di Jawa Tengah dan Bobby menjadi Wali Kota Medan di Sumatera Utara. Lain cerita dengan Jokowi yang juga merupakan anggota PDIP. Megawati tampak menahan diri untuk tidak memecat Jokowi, meskipun yang bersangkutan terus-menerus membelot. Megawati paham kekuatannya, dan tahu cara memanfaatkannya. Tapi berapa banyak lagi pelecehan yang bisa dia maafkan?

Satu hal yang jelas merupakan penghinaan terhadap Megawati adalah ketika Jokowi, di minggu ini, malah melakukan perjalanan ke tiga negara Asia Tenggara, dan tidak menghadiri perayaan ulang tahun PDIP. Padahal, biasanya ia selalu hadir dalam acara-acara PDIP sebelumnya, dalam kapasitas sebagai sebagai Presiden, dan setiap kali diberi kehormatan untuk menyampaikan pidato.

Jokowi terus melakukan kontrol, meski secara tak langsung, terhadap ketujuh partai, termasuk PDIP, dalam pemerintahan koalisinya. Menurut sumber yang dapat dipercaya, rapat kabinet baru-baru ini berubah menjadi dingin karena menteri-menteri yang berafiliasi dengan partai menunjukkan perpecahan kesetiaan. Di antara mereka, ada yang mendukung Presiden dan ada yang mendukung pimpinan partai. Lebih dari separuh anggota kabinet mencalonkan diri untuk pemilihan legislatif.

Bicara soal mempertahankan kekuasaan, semua anggota koalisi juga melakukan hal serupa. Mereka menolak mundur dari pemerintahan koalisi. Tak satu pun partai, termasuk PDIP, yang menarik menterinya dari kabinet. Jokowi juga tidak akan memecat mereka.

Bagi masyarakat umum, tidak jadi masalah siapa yang menang pertarungan, apakah Jokowi atau Megawati. Masyarakat juga tidak peduli berapa lama lagi Jokowi dan Megawati akan mempertahankan drama ini. Semua terserah mereka berdua. Yang jelas, perseteruan terbuka ini tidak hanya membingungkan para pemilih namun juga mempengaruhi efektivitas pemerintah. Hal itu juga melemahkan kualitas demokrasi dan mutu pemilu yang akan datang.

Semakin cepat mereka putus hubungan, semakin baik bagi bangsa.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.