TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Saatnya undur diri

Sebaiknya Presiden menjaga jarak dari dinamika politik pascapemilu. Presiden harus membiarkan partai politik menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

Editorial board (The Jakarta Post)
Jakarta
Tue, February 27, 2024

Share This Article

Change Size

Saatnya undur diri President Joko “Jokowi“ Widodo (left) and NasDem Party chairman Surya Paloh talk during a meeting on Nov. 22, 2018. (Antara/Yudhi Mahatma)
Read in English
Indonesia Decides

Tampaknya pekerjaan Presiden Joko “Jokowi” Widodo belum selesai, meskipun penerus pemerintahan yang ia pilih, Prabowo Subianto, telah memenangkan pemilu pada 14 Februari lalu. Kemenangan Prabowo mengakhiri penantian selama 15 tahun. Dikenal dengan slogan “kerja, kerja, kerja”, Jokowi yang seperti tak kenal lelah mulai melakukan manuver untuk mengkonsolidasikan kekuatan pemerintahan baru, saat ia bersiap untuk meninggalkan jabatannya pada bulan Oktober.

Upaya konsolidasi tetap dilakukan, terlepas dari pernyataannya sendiri yang menyebut bahwa ia akan menyerahkan proses tersebut kepada aliansi elektoral pendukung Prabowo dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka. Gibran adalah putra Jokowi yang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Campur tangan Jokowi pascapemilu ternyata berdampak luas. Ia akan terlibat dalam pemilihan anggota kabinet pada pemerintahan baru. Hal itu diungkapkan anggota tim kampanye Prabowo, Drajad Wibowo. Tidak hanya itu, Jokowi juga berupaya memasukkan unsur-unsur oposisi ke dalam Koalisi Indonesia Maju. Menurut proses hitung cepat, partai koalisi tidak mampu meraih kursi mayoritas di DPR.

Mengaku berperan hanya sebagai “penghubung”, Jokowi mengadakan pertemuan dengan pemimpin oposisi Surya Paloh dari Partai NasDem pada 18 Februari. Hal yang sebenarnya terjadi dalam pertemuan satu jam itu hanya diketahui oleh keduanya. Yang jelas, pemerintah menepis spekulasi mengenai adanya kesepakatan terselubung. Staf kepresidenan Wandy Tuturoong mengatakan kepada The Jakarta Post pada hari Senin 26 Februari bahwa pertemuan tersebut adalah bagian dari upaya untuk “meredakan ketegangan” setelah pemilu.

Secara resmi NasDem, serta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), merupakan bagian dari koalisi penguasa, yang terikat kesepakatan untuk mendukung Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin hingga Oktober mendatang. Namun, sikap pilih kasih Jokowi yang terang-terangan terhadap Prabowo dan Gibran praktis telah menghancurkan koalisi yang dibangunnya.

NasDem dan PKB, ditambah sang oposisi Partai Keadilan Sejahtera, mendukung tokoh oposisi Anies Baswedan dan Ketua PKB Muhaimin Iskandar dalam pemilihan presiden. Sedangkan PDIP dan PPP mencalonkan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Partai-partai tersebut sejak awal menuntut agar Jokowi tetap netral dan membiarkan semua calon presiden bersaing secara setara. Namun Jokowi bersikeras melakukan intervensi yang ia sebut demi “kebaikan bangsa”.

Pertanyaan mengenai keadaan dan alasan di balik pertemuan antara Jokowi dan Surya adalah hal yang wajar, karena NasDem sebelumnya telah menunjukkan dukungannya terhadap penyelidikan yang dilakukan DPR atas dugaan kecurangan “skala besar” dalam pemilu. Penyelidikan atau hak angket tersebut diprakarsai oleh PDIP. Setelah pertemuan Jokowi- Surya, seorang eksekutif NasDem mengatakan bahwa bosnya “tidak ingin negara dan rakyat terpecah belah gara-gara pemilu”.

Terkait pemetaan calon presiden, langkah DPR yang menggunakan hak angket akan mendapat dukungan mayoritas dengan syarat semua parpol pengusung pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud bersikap solid. Hanya waktu yang akan menentukan apakah NasDem pada akhirnya akan bersikap menguntungkan pemerintah setelah pertemuan Jokowi-Surya.

NasDem telah kehilangan dua dari tiga jabatan di kabinet sejak mengumumkan pencalonan Anies sebagai presiden. Dua jabatan menteri lepas dengan alasan korupsi. Meskipun pemberantasan korupsi merupakan alasan yang dapat dibenarkan, tetapi pemilihan waktu investigasi terhadap mantan Menteri Komunikasi dan Informasi Johnny Plate dan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menunjukkan adanya motif politik di balik penegakan hukum tersebut.

Inisiatif apa pun untuk mengurangi ketegangan setelah 14 Februari, dan setelah banyaknya tindakan terang-terangan yang tidak menghormati etika politik dalam persaingan yang demokratis, memang patut mendapat pujian. Namun, peran aktif Presiden Jokowi akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan demokrasi kita. Dia menawarkan jalan damai kepada oposisi, hanya untuk memastikan pemerintahan baru akan mendapat dukungan dari DPR untuk merealisasikan proyek-proyek utamanya, misalnya relokasi ibu kota yang kontroversial.

Sebaiknya Presiden menjaga jarak dari dinamika politik pascapemilu. Presiden harus membiarkan partai politik menyelesaikan permasalahan mereka sendiri. Lagipula, ayah belum tentu tahu yang terbaik untuk sang anak. Sebaiknya, selama tujuh bulan terakhir masa jabatannya, Presiden harus fokus pada semua janji pemilunya sendiri yang belum dipenuhi.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.