Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kredibel. Artinya, oposisi yang siap mengkritik pemerintah dan memperingatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan begitu, mekanisme checks and balances dapat berfungsi baik.
ak lama setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pemenang pemilu pekan lalu, perhatian mulai beralih pada kondisi politik Indonesia. Pertanyaannya, apakah negara ini akan punya kekuatan oposisi, serta partai politik mana yang akan berperan sebagai oposisi di lembaga legislatif.
Meski menang telak, presiden terpilih Prabowo Subianto tidak berhasil membawa partainya menang dalam dalam pemilihan legislatif yang menentukan jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Partai Gerindra meraih perolehan suara terbanyak ketiga, tertinggal dari rivalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang memperoleh suara terbanyak. Sekutu Prabowo, Partai Golkar ada di posisi kedua.
Gerindra, Golkar, dan dua partai pendukung Prabowo lainnya – Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) – diperkirakan mendapat sekitar 280 dari total 580 kursi, atau kurang dari 50 persen.
Dengan mempertimbangkan persatuan demi keutuhan bangsa, kubu Prabowo mengatakan bahwa pihaknya terbuka terhadap gagasan untuk mengundang partai-partai, dari kubu saingannya, ke dalam koalisi yang berkuasa.
Prabowo bertemu Ketua Partai NasDem Surya Paloh pekan lalu, menjadi pertemuan pertama mereka setelah pengumuman KPU. Pertemuan itu, tak urung membuat masyarakat berpikir bahwa NasDem pada akhirnya akan bergabung dengan koalisi yang berkuasa.
Kalangan analis juga memperkirakan bahwa dua mitra NasDem di kubu calon presiden nomor urut 1 juga akan menerima tawaran Prabowo. Dalam pemilihan presiden lalu, Anies Baswedan didukung oleh Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Namun, bagaimana jadinya demokrasi kita jika pemerintah tidak mendapat perlawanan dan tidak ada tantangan karena semua partai politik berada dalam koalisi yang sama?
Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang kredibel. Artinya oposisi yang siap mengkritik pemerintah dan memperingatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan begitu, mekanisme checks and balances dapat berfungsi baik.
Politik Indonesia cenderung menawarkan ilusi stabilitas yang menenangkan. Sementara, pembangunan koalisi pasca pemilu cenderung didasarkan pada politik pragmatis.
Kerapuhan oposisi telah terbukti nyata di masa lalu.
Kita melihat beberapa partai politik yang calonnya kalah dalam pemilu presiden malah bergabung dengan penguasa. Padahal, mereka seharusnya berperan sebagai oposisi di legislatif, karena cenderung punya perbedaan ideologi dengan penguasa.
Hal inilah yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi yang kedua.
Tak lama setelah kekalahan Prabowo dalam pemilu melawan presiden petahana pada 2019, Prabowo memimpin Gerindra untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi.
Langkah Prabowo diikuti oleh partai pendukungnya yang lain, PAN, pada tahun-tahun berikutnya. Akhirnya, yang tertinggal sebagai partai oposisi yang tersisa di badan legislatif hanya dua partai, yaitu Partai Demokrat dan PKS.
Demi kepentingan bangsa, kita tidak memerlukan oposisi yang menimbulkan perpecahan atau menjadikan kerja pemerintah tidak efektif tanpa adanya proses checks and balances yang berarti. Yang kita butuhkan adalah pemerintah yang bertanggung jawab demi kebaikan bangsa.
Sampai saat ini, PDI-P adalah satu-satunya partai yang mengisyaratkan niat untuk berperan sebagai oposisi terhadap pemerintahan pimpinan Prabowo di DPR. Namun, pemimpin partai Megawati Soekarnoputri masih bungkam mengenai keputusan partainya.
Bahkan satu-satunya mitra PDI-P dalam pemilu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), telah mengisyaratkan kemungkinan untuk kembali bergabung dengan Prabowo. Namun, sesungguhnya PPP tidak memenuhi syarat untuk mengirimkan wakilnya ke Senayan.
PDI-P pernah berperan sebagai oposisi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004 hingga 2014.
Saat ini, PDI-P menguasai jumlah kursi terbanyak di DPR, yaitu 110 kursi.
Namun, hanya punya satu partai oposisi mungkin tidak cukup efektif sebagai sistem checks and balances. Itulah yang terjadi ketika PDI-P merupakan satu-satunya partai oposisi pada masa jabatan pertama SBY.
Yang kita perlukan adalah kekuatan oposisi yang kredibel dan menjadi mitra tanding yang setara bagi pihak eksekutif. Dengan demikian, kita dapat memelihara bentuk pemerintahan yang demokratis.
PDI-P dapat memimpin oposisi yang demikian, terutama jika mereka mampu mengamankan kursi Ketua DPR. Selama ini, jabatan Ketua DPR selalu diberikan kepada partai dengan perolehan kursi terbanyak di legislatif.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.