TheJakartaPost

Please Update your browser

Your browser is out of date, and may not be compatible with our website. A list of the most popular web browsers can be found below.
Just click on the icons to get to the download page.

Jakarta Post

Jangan padamkan api dengan api

Kita sudah berulang kali menerima janji dari pihak militer yang mengatakan mereka tidak melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua. Namun, lagi-lagi ada pertumpahan darah atas nama gerakan militer dan polisi melawan kelompok separatis bersenjata.

Editorial Board (The Jakarta Post)
Jakarta
Wed, March 27, 2024

Share This Article

Change Size

Jangan padamkan api dengan api Soldiers board a transport ship for Papua as part of a routine deployment of 450 troops, at the port in Krueng Geukueh, Aceh on July 29, 2021. (AFP/Azwar Ipank)
Read in English

Telah berulang kali terjadi: penduduk asli Papua menjadi korban tentara Indonesia.

Kali ini, kita punya bukti foto yang mengabadikan kebrutalan tersebut. Juga beredar di media sosial, video yang menunjukkan seorang pria Papua disiksa oleh sekelompok pria tanpa seragam yang diduga anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI). Satu klip menunjukkan kepala pria itu dipukuli dengan tongkat, sementara klip lainnya memperlihatkan punggungnya disayat dengan pisau yang tampak seperti pisau komando.

PIhak TNI awalnya menyangkal bahwa penyerang dalam rekaman itu adalah personel militer. Namun, pada Senin 25 Maret, TNI mengeluarkan permintaan maaf, hal yang jarang terjadi. Lebih lanjut, pihak TNI mengatakan bahwa 13 tentara telah ditangkap setelah ada video viral tersebut.

“Saya meminta maaf kepada seluruh masyarakat Papua. Kami akan berupaya memastikan hal ini tidak terulang lagi,” kata Pangdam Cenderawasih di Papua, Mayjen TNI Izak Pangemanan.

Permintaan maaf yang jarang terjadi ini merupakan pertanda positif. Namun, hal itu tidak cukup. Kita sudah berulang kali menerima janji dari pihak militer yang mengatakan mereka tidak melakukan kekerasan terhadap masyarakat Papua. Namun, lagi-lagi ada pertumpahan darah atas nama gerakan militer dan polisi melawan kelompok separatis bersenjata.

Semakin banyak kekerasan di wilayah Papua, yang kaya sumber daya alam, yang terjadi sejak 2018. Di tahun itu, pihak militer menambah jumlah personilnya di wilayah tersebut sebagai respons terhadap serangan yang semakin sering terjadi, dan mengacam nyawa, yang diduga dilakukan oleh para pemberontak bersenjata.

Viewpoint

Every Thursday

Whether you're looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, "Viewpoint" is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most.

By registering, you agree with The Jakarta Post's

Thank You

for signing up our newsletter!

Please check your email for your newsletter subscription.

View More Newsletter

Sepanjang 2023 saja, terdapat 49 tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap warga sipil. Yang dicatat oleh kelompok hak asasi manusia Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), antara lain, berupa penangkapan paksa, penyiksaan, dan penembakan. Setidaknya 67 orang terluka dan 41 lainnya kehilangan nyawa dalam tindak kekerasan tersebut.

Selain itu, menurut Kontras, sebagian warga sipil yang ditangkap tidak dapat dibuktikan memiliki hubungan dengan kelompok pemberontak bersenjata, khususnya dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

Terkait video viral yang beredar pekan ini, TNI mengklaim pria yang dipukuli dalam video tersebut telah diidentifikasi sebagai Defianus Kogoya. Ia adalah anggota kelompok separatis yang berencana membakar sebuah puskesmas di Papua Tengah.

Jika pun benar Defianus adalah pemberontak, apa yang dilakukan tentara terhadapnya tidak dapat dibenarkan. Tidak ada satu pun hukum nasional atau internasional yang mengizinkan penyiksaan terhadap anggota pasukan musuh.

Konvensi Jenewa dan protokol tambahannya memiliki setidaknya tujuh pasal yang melarang penyiksaan. Ada juga serangkaian peraturan lain yang melarang perlakuan kejam atau tidak manusiawi terhadap musuh yang tertangkap.

Peraturan nasional juga melarang personel pasukan keamanan melakukan tindakan kekerasan yang tidak perlu. Pasal 351 KUHP mengamanatkan hukuman penjara dua tahun delapan bulan bagi siapa pun yang melakukan penyiksaan. Dan ketentuan tersebut juga berlaku bagi personel militer.

Bagi tentara, hukumannya bisa lebih berat. Tentara punya kemungkinan mendapat tambahan sepertiga hukuman jika mereka dinyatakan bersalah melakukan penyiksaan oleh pengadilan militer.

Pada Senin lalu, TNI juga mengumumkan bahwa mereka telah menangkap 13 tentara yang diduga terlibat dalam insiden di video tersebut. Investigasi masih berlangsung. Namun, pihak militer berjanji akan segera menetapkan mereka sebagai tersangka.

Ini mungkin merupakan langkah awal yang baik, namun mungkin tidak ada artinya jika atasan mereka tidak ikut diadili bersama para prajurit. Paling tidak, TNI harus memastikan 13 tersangka tersebut diadili tuntas di pengadilan militer.

TNI juga harus bekerja lebih keras untuk mencegah permasalahan sistemik yang memungkinkan terjadinya kekerasan tersebut. Seorang juru bicara TNI mengakui bahwa militer masih jauh dari sempurna. Pengakuan yang bagus, tetapi akan lebih baik jika TNI benar-benar bekerja secara transparan dalam mengatasi ketidaksempurnaan tersebut.

Secara keseluruhan, pemerintah dan khususnya pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto harus melakukan upaya yang lebih serius untuk mencapai perdamaian jangka panjang di Papua.

Mengirim lebih banyak pasukan terbukti hanya menyebabkan eskalasi masalah. Pemerintahan yang akan datang harus memikirkan bahwa memadamkan api dengan api hanya akan menyebabkan kebakaran yang lebih besar.

Your Opinion Matters

Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.

Enter at least 30 characters
0 / 30

Thank You

Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.