Calon terpopuler yang menang pemilu presiden, purnawirawan jenderal TNI Prabowo Subianto, telah lama dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, yang dengan tegas ia bantah.
alam sejarah pemilu di Indonesia, isu hak asasi manusia belum pernah menjadi pusat perhatian, sebesar yang terjadi pada musim pemilu lalu.
Alasannya jelas. Kandidat terpopuler yang jadi pemenang pemilu, purnawirawan jenderal TNI Prabowo Subianto, telah lama dikaitkan dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan tegas, tuduhan itu ia bantah.
Prabowo tampak menanggapi tuduhan sensitif tersebut dengan tenang. Ia yakin bahwa munculnya tuduhan tersebut merupakan trik politik murahan yang didaur ulang tiap lima tahun sekali. Jelas, ada upaya untuk melemahkan posisinya.
“Saya sudah berkali-kali menjawab pertanyaan itu. Setiap lima tahun sekali, ketika elektabilitas saya naik, pertanyaan itu muncul lagi,” kata Prabowo dalam debat calon presiden Desember tahun lalu.
Sungguh tidak menolong bahwa pendukung utama Prabowo, Presiden Joko “Jokowi” Widodo, politisi sipil pertama yang berhasil menang pemilihan presiden langsung di negara ini, punya catatan hak asasi manusia yang juga kurang menarik.
Selama masa jabatan Jokowi, belum ada terobosan signifikan dalam penyelesaian berbagai pelanggaran HAM besar di masa lalu, mulai dari pembantaian anggota partai komunis pada 1965 hingga kerusuhan Mei 1998.
Pada awal pemerintahannya, Presiden Jokowi mengumbar janji besar untuk menyelidiki dan mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Namun, kenyatannya, kemajuan di lapangan masih sangat minim.
Pada awal masa jabatannya yang kedua, permintaan maaf Presiden Jokowi menghiasi berita utama media. Ia mengeluarkan permintaan maaf atas pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, termasuk pembersihan anggota parta komunis di 1965. Ia berjanji memulihkan hak-hak para korban.
Namun, seiring dengan berakhirnya masa jabatan keduanya, sebagian besar janji tersebut belum terealisasi. Banyak pejabat di pemerintahan hanya memperdebatkan solusi administratif seperti kewarganegaraan ganda atau jenis visa yang dapat digunakan oleh para eksil politik untuk kembali ke Indonesia.
Di dunia internasional, Indonesia terus menghadapi pertanyaan mengenai situasi hak asasi manusia di Papua. Ketegangan di wilayah itu masih tinggi akibat bentrokan antara aparat keamanan dan sejumlah kelompok separatis.
Ada risiko nyata bahwa ketegangan dapat semakin meningkat ketika TNI kembali menggunakan taktik lamanya dalam menangani kelompok separatis. Taktik itu terlihat saat para perusuh disebut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), bukan lagi kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang lebih umum.
Bukan merupakan pertanda baik, ketika negara ini bersiap menyambut pemerintahan baru presiden terpilih Prabowo, Kementerian Pertahanan meminta kenaikan anggaran untuk membeli senjata berteknologi tinggi. Senjata itu dapat “mendeteksi atau membalas” pemberontak separatis di Papua.
Pemerintahan presiden terpilih Prabowo harus menghadapi situasi yang terjadi akibat naiknya ketegangan di Papua, serta masalah-masalah lain yang dibawa oleh pemerintahan Jokowi.
Pemerintahan baru Prabowo akan berhasil jika bisa segera membuat rencana aksi terkait cara mengusut pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, sekaligus mengakhiri budaya impunitas.
Sejauh ini, belum terlihat rencana detail dari tim kampanye presiden atau tim transisi Prabowo.
Para aktivis hak asasi manusia juga menjabarkan fakta bahwa platform kampanye Prabowo tidak punya rincian spesifik tentang cara memastikan pertanggungjawaban dan keadilan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Karena itu, timbul keraguan terhadap kemampuan dan komitmen pemerintah yang akan datang dalam mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Presiden terpilih Prabowo harus membuktikan bahwa para pengkritiknya salah duga. Ia harus menunjukkan keseriusan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu dan melindungi hak asasi manusia pada umumnya.
Dia bisa mulai dengan tindakan kecil, dan bukan membuat janji besar.
Selama 17 tahun, keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu telah melakukan protes mingguan yang disebut Kamisan di depan Istana Negara.
Menemui mereka akan menjadi awal yang baik.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.