RUU tersebut, jika disahkan, akan membatasi masa jabatan hakim dari 15 menjadi 10 tahun. Lalu ada tambahan persyaratan, hakim harus meminta persetujuan dari institusi yang menunjuknya agar dapat terus menjabat.
inggu ini, pemerintah dan DPR menyetujui rencana revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) untuk keempat kalinya. Tentu saja rencana itu berisi aturan yang membuat hakim rentan diintervensi oleh campur tangan politik lebih banyak.
RUU yang direvisi tersebut, jika disahkan, akan membatasi masa jabatan hakim dari 15 menjadi 10 tahun. Lalu ada tambahan persyaratan, setelah hakim bertugas selama lima tahun, ia harus meminta persetujuan dari lembaga yang menunjuknya agar dapat terus menjabat.
Pada dasarnya, aturan tersebut memberi kesempatan pada lembaga-lembaga yang menunjuk, yaitu Kantor Presiden, DPR dan Mahkamah Agung, untuk mempertimbangkan lagi kinerja hakim yang menjabat dan mengubah pikiran mereka.
Bahkan, belum dijelaskan secara spesifik langkah-langkah yang diambil untuk dapat mengevaluasi pencapaian seorang hakim, yang sangat terkait dengan pengadilan. Padahal, pengadilan adalah tempat yang tidak boleh dipengaruhi oleh politik maupun opini publik.
Berdasarkan peraturan yang ada dalam revisi tahun 2020, hakim MK yang ditunjuk dapat menjalani masa jabatan maksimal 15 tahun tanpa intervensi.
Pada saat lembaga tersebut dibentuk, kebijakan yang jadi pertimbangan adalah bahwa masa jabatan 15 tahun akan cukup untuk melindungi hakim dari tekanan politik. Lagi pula, jangka waktu tersebut dinilai tepat demi kesinambungan kerja MK, yang punya peran kunci dalam sistem checks and balances.
Perubahan yang dilakukan minggu ini mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, Desember lalu, Mahfud MD, yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK, menolak memberi lampu hijau bagi revisi RUU MK.
Adalah penggantinya, Hadi Tjahjanto, salah satu orang dekat Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang membuka jalan bagi RUU agar disahkan pada rapat paripurna DPR mendatang.
Dan seperti kebanyakan RUU yang diperkenalkan pada masa pemerintahan Jokowi, yang makin hari makin oligarki, RUU MK tersebut segera dikebut, luput dari pengawasan publik, karena DPR sedang dalam masa reses.
Jika RUU tersebut disahkan, maka revisinya tidak akan berdampak baik bagi citra MK yang sudah ternoda. Nama MK akan makin tercoreng setelah serangkaian kontroversi besar pada tahun pemilu lalu, yang menyebabkan majelis hakim terkena pelanggaran etika.
MK, yang bertugas mengadili sengketa pemilu dan hal-hal yang berkaitan dengan konstitusi, disalahgunakan oleh saudara ipar Jokowi. Syarat untuk mencalonkan diri dalam pemilu presiden diubah, sehingga memberi kesempatan kepada putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi wakil presiden.
Paman Gibran, Anwar Usman, ketua hakim MK, kemudian diturunkan jabatannya. Sementara itu, hakim lainnya dikenai sanksi karena mereka secara kolektif gagal menanggapi apa yang digambarkan oleh penyelidik ad hoc sebagai “pelanggaran etika berat”.
Insiden ini saja sudah merusak citra MK sebagai lembaga agung yang otonom, yang ternyata bisa diintervensi. Saat ada gugatan sengketa pemilu, banyak orang sudah kehilangan kepercayaan terhadap independensi lembaga tersebut.
Pada hari Selasa kemarin, Mahfud membuat pernyataan video yang menjelaskan posisinya. Ia sebut bahwa meski sebelumnya menolak mendukung revisi tersebut, ancaman tekanan politik dari pemilu telah mereda. Menurutnya, tidak masalah jika revisi dilanjutkan.
Seharusnya, kita keberatan dan membantah pendapat Mahfud. Ancaman masih sangat besar, mengingat pilkada serentak 2024 akan dilangsungkan pada akhir tahun ini. Semakin banyak kepentingan politik yang dipertaruhkan.
Revisi yang diusulkan juga tidak mengatasi permasalahan mendasar dalam proses seleksi hakim. Yang utama, tidak ada standar transparansi yang mengatur proses penunjukan di tingkat lembaga yang menugaskan hakim.
Jadi mengapa kita berkelit dan membiarkan perubahan-perubahan yang tidak mengembalikan kredibilitas MK? Para politisi secara sistematis telah melemahkan lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan mempertaruhkan lembaga yang bertanggung jawab atas pemilu. Kita tidak bisa mengambil risiko pemutarbalikan era reformasi.
DPR telah tiga kali merevisi undang-undang yang sama, sejak MK dibentuk dua dekade lalu. Jika ini adalah wajah “prinsip hukum” Indonesia di masa depan, maka kita tentu punya alasan untuk mencemaskan kelangsungan institusi demokrasi kita.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.