Dengan meningkatnya tantangan layanan kesehatan pascapandemi, pemerintah harus mendukung hak atas kesehatan melalui pembuatan kebijakan yang tepat.
ada 8 Mei, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menandatangani peraturan presiden (Perpres) yang bertujuan untuk mengubah sistem jaminan kesehatan nasional. Sistem tersebut seharusnya akan mendorong kesetaraan, tetapi ternyata justru ditentang oleh mereka yang telah membayar iuran lebih mahal.
Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memperkenalkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Program itu memastikan seluruh warga negara yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mendapatkan perlakuan setara.
Mulai berlaku pada 30 Juni 2025, KRIS akan menghapus sistem BPJS Kesehatan selama ini yang terbagi atas tiga kelas. Selama ini, peserta BPJS Kesehatan kelas 1 membayar premi bulanan sebesar Rp150.000 (sekitar $9,35 dolar Amerika), sedangkan premi kelas 2 sebesar Rp100.000, dan premi kelas III sebesar Rp35.000.
Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, tujuan KRIS adalah meningkatkan standar minimal layanan kesehatan. Dengan demikian, di seluruh Indonesia, standar minimal pelayanan kesehatan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan dapat ditingkatkan secara signifikan.
Sistem layanan kelas tunggal terdengar ideal, terutama mengingat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang telah mengadopsi layanan kesehatan universal. Per 1 Maret 2023, jumlah masyarakat Indonesia yang menjadi peserta program JKN-Kartu Indonesia Sehat (KIS) mencapai 252,1 juta jiwa, atau lebih dari 90 persen total penduduk di tanah air.
Berdasarkan Perpres Nomor 59 Tahun 2024, Kementerian Kesehatan membuka kemungkinan kemitraan antara BPJS Kesehatan dan perusahaan asuransi swasta. Tentu agar dapat memberikan perlindungan kesehatan tambahan kepada pasien, selain asuransi kesehatan yang sudah mereka miliki.
Meski demikian, kekhawatiran sebagian besar peserta BPJS Kesehatan kelas 1 dan kelas 2 terhadap KRIS dapat dimaklumi. Selama ini, mereka membayar lebih mahal sehingga merasa berhak mendapatkan fasilitas yang lebih baik dibandingkan peserta kelas terbawah.
Menurut koordinator advokasi BPJS Watch Timbul Siregar, skema pelayanan rumah sakit kelas tunggal dapat mengakibatkan penurunan pendapatan, terutama dari pemegang polis kelas 1 dan 2. Memang, ada kemungkinan pendapatan dari pemegang polis kelas 3 akan naik.
Memang benar, potensi defisit harus menjadi pertimbangan pemerintah ketika mengadopsi sistem layanan kelas tunggal.
Defisit selalu menjadi tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan sejak didirikan pada 2014. Defisit tersebut meroket dari Rp1,9 triliun pada 2014 menjadi Rp 9,4 triliun pada 2015. Defisit sempat menurun jadi Rp6,4 triliun pada 2016, namun pada tahun-tahun berikutnya defisit mencapai antara Rp 13 triliun dan Rp 19 triliun hingga pemerintah menaikkan premi pada 2019.
Baru-baru ini, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron mengatakan bahwa penyedia asuransi kesehatan nasional tersebut harus bersiap menghadapi defisit lagi pada tahun anggaran ini. Pasalnya, klaim telah mencapai Rp176 triliun, sementara pendapatan dari premi menurun karena 53 juta peserta dilaporkan tidak aktif lagi.
Beberapa rumah sakit kini sedang bertransisi ke KRIS. Sebanyak 3.060 dari 3.176 rumah sakit dilaporkan telah setuju untuk menerapkan program tersebut. Hingga 30 April, sebanyak 2.558 rumah sakit telah siap menerapkan KRIS, berdasarkan hasil survei terbaru terhadap 12 kriteria KRIS. Berdasarkan Perpres Nomor 59, rumah sakit pemerintah wajib menyiapkan fasilitas rawat inap untuk KRIS sebanyak 60 persen, sedangkan rumah sakit swasta sebanyak 40 persen.
Berbeda dengan rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta kemungkinan besar akan kekurangan dana untuk merenovasi fasilitas rawat inap sesuai kriteria KRIS. Alasannya, ada penurunan pendapatan dari premi asuransi kelas 1 dan 2.
Pemerintah belum memutuskan tarif baru untuk premi asuransi layanan tunggal. BPJS Kesehatan akan membahas tarif baru tersebut dengan Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan Kementerian Keuangan. Selama masa transisi, skema tiga kelas yang ada saat ini masih tetap berlaku.
Dengan makin banyaknya tantangan terhadap layanan kesehatan pascapandemi, pemerintah harus mendukung hak atas kesehatan melalui pengambilan kebijakan yang baik. Pada akhirnya, semua orang harus punya kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Untuk saat ini, dengan ketidakpastian yang membayangi dalam hal asuransi, sebaiknya kita menjaga pola hidup sehat agar terhindar dari penyakit. Seperti pepatah lama, mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.
Saat kita sakit dan memerlukan rawat inap, kita mungkin harus menghadapi prosedur perawatan kesehatan yang “terlalu rumit untuk dipahami”.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.