Universitas-universitas negeri perlu mengingat pentingnya pelayanan publik, bahkan ketika mereka mengejar keuntungan finansial. Hal itu perlu dicermati, utamanya saat ini, ketika ijazah pendidikan tinggi tampaknya tidak lagi menjadi jaminan kuat untuk mendapat pekerjaan.
elakangan ini, beredar wacana soal kenaikan biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri yang disebut uang kuliah tunggal (UKT). Tak urung, hal itu membuat kita perlu mengkaji ulang pelaksanaan tiga pilar pendidikan tinggi yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, inovasi, dan pelayanan publik.
Selama beberapa minggu terakhir, universitas-universitas negeri menghadapi kritik tajam dari mahasiswa karena menaikkan biaya kuliah tanpa transparansi. Dalam beberapa kasus, alih-alih memberikan penjelasan, kampus justru malah menjelek-jelekkan mahasiswa yang mencoba menyuarakan pendapat mereka.
Tidak butuh waktu lama bagi pemerintah untuk terseret ke dalam krisis ini. Pasalnya, tahun ini, alokasi anggaran negara untuk pendidikan, yaitu sebesar Rp665 triliun ($41,2 miliar dolar Amerika), merupakan alokasi dana pendidikan tertinggi sejak amanat konstitusi yang membatasi dana pendidikan negara diajukan pada 2008.
Sayangnya, seorang pejabat kementerian pendidikan gagal menyampaikan pesan tersebut dengan bijak. Yang bersangkutan justru mengatakan bahwa negara memandang pendidikan tinggi sebagai kebutuhan “tersier”. Dengan alasan itu, negara lebih memilih untuk mengalokasikan dana demi mengembangkan pendidikan dasar wajib.
Setelah mendengarkan keberatan mahasiswa, minggu ini anggota DPR memanggil Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim. Mereka memerintahkan penghentian segera, juga peninjauan kembali, kebijakan subsidi di perguruan tinggi dan struktur biaya kuliah baru.
Secara khusus, peraturan menteri yang baru-baru ini ditandatangani oleh Nadiem dipandang sebagai pemicu perdebatan. Ketika universitas diharapkan dapat mengelola keuangan mereka dengan lebih baik, privatisasi merupakan cara yang umum dilakukan.
Namun, Nadiem tetap bersikukuh menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan peraturan. Ia bahkan menunjuk bahwa sumber keributan adalah akibat kesalahan persepsi masyarakat. Ia menolak bertanggung jawab menghubungkan kenaikan biaya pendidikan dengan peningkatan nyata dalam kualitas dan hasil pendidikan, untuk membenarkan alasan kenaikan tersebut.
Setidaknya dia berkomitmen untuk mengevaluasi kampus-kampus dan mengatakan akan menghentikan praktik buruk yang dilakukan universitas-universitas. Tidak seharusnya perguruan tinggi mengambil keuntungan dari calon mahasiswa yang secara ekonomi tidak mampu.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin setidaknya mengakui ketidakmampuan pemerintah menanggung seluruh biaya pendidikan tinggi.
Meski begitu, ia berpendapat bahwa beban keuangan tidak boleh ditumpukan kepada pelajar. Apalagi, menurutnya, Indonesia harus dapat menghasilkan lulusan yang berketerampilan tinggi. Pendidikan tinggi nasional yang sangat buruk, yang mengejutkan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, harus diperbaiki. Januari lalu, Jokowi sempat menyatakan keterkejutannya melihat rendahnya rasio penduduk berpendidikan tinggi di Indonesia.
Sangat mudah melupakan data-data penting terkait pendidikan di Indonesia. Bahwa rata-rata lama pendidikan sekolah formal di Indonesia hanya sembilan tahun pendidikan dasar, menurut data 2022. Lalu data lain menunjukkan bahwa nilai Program for International School Assessment (PISA) siswa Indonesia belum lolos ambang batas 400 poin. PISA adalah penilaian internasional yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan literasi siswa yang berusia 15 tahun.
Sementara itu, data hasil investigasi harian Kompas menunjukkan bahwa angkatan kerja Indonesia masih didominasi masyarakat yang berpendidikan sekolah dasar.
Semua hal ini menunjukkan betapa impian untuk melahirkan generasi “emas” saat Indonesia berusia satu abad masih menghadapi banyak kendala. Dan tantangan tersebut hanya dapat diatasi jika negara, lembaga pendidikan, dan masyarakat dapat bekerja sama menuju visi 2045.
Sebagai langkah awal, pemerintah harus lebih terbuka pada pemangku kepentingan di bidang pendidikan, serta kepada masyarakat umum, mengenai hal-hal yang harus dipenuhi untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Para ahli telah menunjukkan perlunya memiliki pemimpin universitas-universitas negeri yang mumpuni sebagai pebisnis, sehingga mereka lebih siap mengelola institusi mereka. Pengelolaan harus memperhatikan keseimbangan antara kesuksesan komersial dan patronasi yang teguh.
Universitas-universitas negeri perlu mengingat pentingnya pelayanan publik, bahkan ketika mereka mengejar keuntungan komersial. Hal itu diperlukan terutama saat ini, ketika kredensial pendidikan tinggi tampaknya tidak lagi menjadi jaminan yang kuat untuk mendapatkan pekerjaan.
Kamis 23 Mei, presiden terpilih Prabowo Subianto menyalahkan kenaikan biaya kuliah, dengan menyebutnya sebagai “kredo neoliberal dan kapitalis yang tidak terkekang”. Ia bahkan berjanji membebaskan biaya kuliah di perguruan tinggi. Namun, tidak semua orang mampu menjadi patron seperti Prabowo, yang dikenal banyak memberikan beasiswa dari kantongnya sendiri.
Bisa jadi berguna mengambil contoh lain, yaitu saat 23 taipan menyumbangkan Rp23 miliar ($1,43 juta dolar Amerika) kepada tim sepak bola nasional U-23 sebagai motivasi untuk mengikuti Olimpiade.
Kita harus memperlakukan universitas negeri kita seperti layaknya tim sepak bola. Artinya, segala yang kita investasikan belum tentu menghasilkan keuntungan langsung. Namun, investasi itu akan membawa rasa kejayaan bagi seluruh tim.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.