Dalam kondisi “new normal” yang dikukuhkan oleh keinginan Presiden Jokowi untuk melanjutkan proyek pembangunan bangsa, kita teperdaya langkahnya menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kehendaknya.
engan penuh rasa prihatin sekaligus waspada, mari menyatakan duka cita atas kondisi sistem peradilan kita selama masa-masa paling politis ini.
Putusan Mahkamah Agung (MA) minggu lalu menunjukkan bahwa politik dinasti, meskipun pernah terjadi di seluruh penjuru negeri, sudah bergerak terlalu jauh. Putusan itu mengajukan persyaratan teknis terkait batas usia bagi kandidat yang mencalonkan diri pada pemilihan kepala daerah (pilkada).
Dalam kondisi “new normal” yang dikukuhkan oleh keinginan Presiden Jokowi untuk melanjutkan proyek pembangunan bangsa, kita teperdaya langkahnya menghalalkan segala cara untuk mencapai kehendaknya.
Cara termudah untuk membentuk generasi makmur di Indonesia adalah dengan mengumpulkan kekuasaan dan memanipulasi pengaruhnya demi keuntungan personal.
Sayangnya, saat ini tidak ada hal yang gratis. Segala sesuatu selalu ada perhitungan timbal balik yang harus dibayar. Hal itu pun terjadi di lembaga-lembaga negara yang seharusnya memberikan dan menegakkan keadilan bagi semua orang.
Skandal MA hanyalah noda terbaru dari buruknya kinerja Indonesia dalam reformasi peradilan. Supremasi hukum perlahan-lahan bertransformasi menjadi “mainan penguasa”.
Dalam memenuhi petisi dari sebuah partai kurang terkenal yang diketahui punya hubungan dengan koalisi propemerintah, MA hanya perlu tiga hari untuk menyetujui perubahan terhadap persyaratan usia yang berlaku. Kini, calon gubernur harus berusia 30 tahun pada saat dilantik. Padahal, sebelumnya, batas usia 30 tahun itu dikenakan untuk calon saat pengajuannya pertama kali dikonfirmasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kita semua setuju syarat usia diturunkan, demi mencegah diskriminasi berdasarkan usia, jenis kelamin, keyakinan, juga afiliasi atau pengalaman politik. Namun, keputusan MA tersebut seperti menunjukkan kepada dinasti politik mana pun, bahwa demi mereka, aturan bisa dibelokkan.
Tahun lalu, Mahkamah Konstitusi (MK), yang saat itu dipimpin oleh saudara ipar Jokowi, Anwar Usman, mengubah batasan usia calon kandidat dalam UU pemilu. Perubahan dilakukan agar putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, bisa mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Sekali lagi, peraturan sengaja dicurangi demi keuntungan pihak yang istimewa.
Sampai di titik tertentu, keputusan MA bahkan lebih mengerikan daripada keputusan kontroversial MK. Hal itu mengingat ketenaran lembaga tersebut dalam menghasilkan putusan aneh, serta peluang yang dibuka oleh pemilu bagi para pelaku nepotisme pemula.
Pertama-tama, perubahan peraturan melanggar Hukum Purcell. Pada prinsipnya, dalam sebuah kontestasi, perubahan terhadap aturan apa pun boleh dilakukan untuk memastikan keadilan, hanya jika kerugian yang ditimbulkan kecil. Menerapkan perubahan dalam permainan yang sedang berlangsung tidak hanya berisiko menguntungkan pihak tertentu secara tidak adil, juga sangat melemahkan semangat keadilan dan kejujuran.
Apa pun alasan yang dilontarkan para politisi, semakin sulit membantah bahwa ada satu pihak yang diuntungkan dari perubahan yang terjadi saat ini. Pihak tersebut jelas-jelas putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, atau lebih tepatnya, semua kerabat politik yang ia wakili.
Putusan tersebut juga penuh keangkuhan. Ia melampaui batas persaingan sehat dalam sebuah pemilu. Pasalnya, dengan aturan tersebut, ada asumsi bahwa kandidat peserta pemilu yang memenuhi syarat dapat merencanakan pelantikannya bahkan sebelum pemilunya dimulai.
Keputusan penuh kontroversi yang diambil MA sungguh tidak menolong reputasi lembaga tersebut. Tentu saja banyak yang masih ingat kasus hukum yang melibatkan mantan hakim Gazalba Saleh dan Sudradjad Dimyati. Mereka merupakan hakim-hakim pertama yang dipecat karena tuduhan korupsi.
Pengadilan kemudian menetapkan standar rendah lainnya. Tiba-tiba ada dua versi putusan yang harus diperdebatkan. Dan dua putusan itu merupakan hal yang memalukan dan hanya makin menunjukkan niat untuk menciptakan pengalihan isu, dibandingkan menegakkan keadilan.
Tidak ada investor yang mau ambil risiko dengan berinvestasi di Indonesia, dalam kondisi ketidakpastian hukum yang demikian besar. Mungkin benar bahwa supremasi hukum di Indonesia, sebagaimana dikatakan oleh beberapa pakar pemerintahan, kini makin mendekati hukum rimba. Dalam hukum rimba, hanya orang-orang kaya yang bisa berkuasa.
Satu-satunya jalan keluar yang tersedia bagi masyarakat saat ini adalah memberikan suara mereka secara sadar, saat pemilu November mendatang. Gunakan hati nurani saat memilih. Jika tak ingin ada politik dinasti, jangan pilih mereka.
Terlepas dari semua patronase feodalistik yang mendasari pembentukan negara ini, kita bisa melangkah hingga sejauh ini berkat reformasi demokrasi. Kita sampai di titik ini berkat komitmen untuk membangun secara gotong-royong.
Ada terlalu banyak risiko, jika kita membiarkan masa depan Indonesia disetir oleh kepentingan sempit segelintir orang.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.