Sejarah menunjukkan bahwa Soeharto dapat mempertahankan kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun, sebagian besar berkat dukungan ABRI, termasuk polisi. Dukungan itu termasuk melalui penggunaan paksaan, intimidasi, dan bahkan kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat.
etelah gerakan reformasi yang mengakhiri Orde Baru, hilang sudah gagasan “militer kembali ke barak”. Konsep tersebut kurang lebih berarti mundurnya militer dari dunia politik, yang banyak dibanggakan dan menjadi wacana publik pada akhir tahun 1990an.
Kini, lebih dari 25 tahun setelah gerakan reformasi, warga negara Indonesia akan menyambut kembali para pria berseragam Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan pekerjaan sipil. Sesuai keinginan presiden, mereka akan dipercaya masuk pemerintahan setelah DPR mengesahkan amandemen kontroversial terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia tahun 2004.
DPR, dengan dukungan penuh dari pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, telah mengusulkan perubahan terhadap UU TNI. Perubahan tersebut akan memungkinkan perwira militer aktif untuk mengambil posisi di pemerintahan, jika presiden memutuskan hal tersebut diperlukan. Draf revisi UU tersebut juga mengusulkan perluasan operasi militer nonperang TNI, dari 14 kegiatan yang ada saat ini menjadi 19. Perluasan mencakup membantu pemerintah dalam menghadapi serangan siber dan memberantas peredaran obat-obatan terlarang di dalam negeri.
Ketentuan ini sama saja dengan memberikan keleluasaan tanpa batas pada presiden, sebagai panglima tertinggi TNI, untuk menugaskan perwira militer sebanyak yang ia inginkan di posisi pekerjaan sipil. Sesungguhnya, hal itu lumrah pada masa Orde Baru. Saat itu, militer berperan di dua ranah, baik dalam bidang pertahanan maupun sosial politik. Peran tersebut dikenal dengan istilah dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Sejarah menunjukkan, Orde Baru Soeharto dapat berkuasa selama lebih dari 30 tahun, sebagian besar berkat dukungan dari ABRI, juga polisi. Dukungan tersebut termasuk menggunakan paksaan, intimidasi, dan bahkan kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat. Kekuasaan militer di ranah sosial politik dilembagakan melalui penunjukan perwira militer sebagai gubernur, wali kota, dan bupati.
UU TNI yang berlaku saat ini, dalam semangat profesionalisme, membatasi militer untuk terlibat mengurusi hal-hal yang sifatnya nonpertahanan. Memang, menurut undang-undang, perwira aktif bisa mengisi jabatan pemerintahan. Namun, aturan itu membatasi jabatan hanya di 10 kementerian dan lembaga yang membutuhkan kompetensi terkait militer, seperti Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Banyak pihak yang menyatakan kekhawatiran, bahkan ketakutan, bahwa revisi UU TNI akan membuka jalan bagi penerapan kembali peran ganda militer. Namun, bisa saja pihak militer menjadi pihak yang tak bersalah. Pasalnya, justru pemerintahan sipil, khususnya pemerintahan Jokowi, yang cenderung memberi ruang pada militer untuk memperluas perannya.
Meski punya masa lalu buruk, pihak militer beruntung karena terus memenangkan hati serta pikiran para elit politik dan masyarakat. Survei opini secara konsisten menunjukkan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap TNI. Kepercayaan tersebut mungkin menjelaskan mengapa peringatan kelompok masyarakat sipil mengenai kembalinya dwifungsi ABRI menjadi sesuatu yang dianggap biasa saja.
Meski seandainya Jokowi, yang akan mengundurkan diri pada Oktober, atau penggantinya, Prabowo Subianto, yang mantan jenderal Angkatan Darat, tidak sepenuhnya menarik keuntungan dari UU TNI yang baru tersebut, tetap saja prinsip supremasi sipil, yang menekankan bahwa angkatan bersenjata suatu negara harus dikontrol sipil, akan menanggung dampaknya.
Jika dwifungsi membatasi demokrasi, revisi UU TNI mungkin akan mengakhiri impian reformasi Indonesia.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.