Masyarakat berharap adanya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk mendorong kebijakan yang akan mewujudkan tindakan nyata melawan polusi.
uasana perayaan HUT ke-497 Jakarta sempat diharapkan cerah dan meriah. Nyatanya, yang terjadi justru kesuraman. Dan hal itu bukan karena kota ini sedang bersiap melepas statusnya, setelah selama puluhan tahun menjadi daerah khusus ibukota. Kesuraman terjadi karena kabut asap tebal yang menyelimuti Jakarta.
Indeks kualitas udara Jakarta saat minggu menjelang hari jadinya 22 Juni lalu berada pada kategori “tidak sehat”. Indeks itu diukur oleh perusahaan teknologi Swiss IQAir. Bahkan indeks pernah mencapai level 223 pada 18 Juni, yang masuk dalam kategori “sangat tidak sehat”.
Warga Jakarta semakin sakit, baik secara harfiah maupun kiasan, akibat polusi udara. Namun, kami juga lelah dengan sikap pemerintah yang menganggap remeh masalah polusi yang telah mencekik penduduk kota selama bertahun-tahun.
Ketika ditanya tentang memburuknya kualitas udara di Jakarta, pejabat Gubernur Jakarta Heru Budi Hartono menjawab dengan tegas, “Semua tempat di dunia sudah tercemar”. Kemudian tanpa menunjukkan penyesalan, apalagi sikap berada di masa krisis, ia menyebutkan beberapa upaya yang telah dilakukan pihak berwenang untuk mengatasi polusi. Menurutnya, sudah dilakukan penyemaian awan untuk memicu hujan dan penyemprotan kabut dari gedung-gedung tinggi. Aksi itu seharusnya dirancang untuk menghilangkan kabut asap.
Memang benar, di mana-mana terdapat kota-kota yang tercemar. Namun, bahwa kabut asap di Jakarta juga terjadi di London atau New Delhi bukanlah alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Masyarakat yang membayar pajak menuntut aparat pemerintah bekerja lebih keras menjaga udara agar bebas kabut asap, demi kehidupan yang lebih sehat di Jakarta.
Lonjakan polusi ini diduga menjadi penyebab lebih dari 100.000 kasus infeksi saluran pernapasan akut yang dilaporkan terjadi setiap bulan, sepanjang 2023. Semakin banyak anak-anak yang sakit. Potensi bayi menderita stunting makin tinggi. Ada juga ancaman kematian pada bayi baru lahir. Semua mungkin terjadi karena warga menghirup polutan, termasuk partikel halus seperti PM2.5, yang dapat menyumbat pembuluh darah.
Pihak berwenang harus berbuat lebih baik daripada hanya mengandalkan gimmick seperti penyemprotan awan untuk hujan buatan. Uap air bukan saja tidak mampu membersihkan udara. Beberapa penelitian justru menyoroti bahwa penyemprotan uap air dapat memperburuk masalah dan tidak mengatasi sumber polusi.
Pemerintah Jakarta, dan juga pemerintah pusat, mungkin sudah punya cukup taktik untuk mengendalikan atau mengurangi polusi yang menyesakkan ini. Undang-Undang Status Khusus Jakarta yang baru disahkan berisi ketentuan yang membatasi usia kendaraan bermotor yang lalu lalang di kota. Pemerintah juga mempertimbangkan untuk membatasi atau menghapuskan bahan bakar fosil yang kotor, dan menggantinya dengan bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan. Langkah ini mungkin juga sejalan dengan mitigasi krisis iklim.
Saat ini, yang penting adalah menegakkan aturan. Masyarakat berharap adanya kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk lebih keras mendorong kebijakan, agar ada tindakan nyata melawan polusi.
Kebijakan tersebut juga harus ditindaklanjuti dengan upaya yang mendukung perubahan sistemik di kota. Jika pihak berwenang memutuskan akan membatasi jumlah kendaraan, misalnya, mereka harus memastikan adanya perbaikan pada angkutan umum. Pemerintah Jakarta dan pemerintah pusat harus bekerja sama untuk memastikan tersedianya cukup armada bus dan kereta api, sehingga dapat memfasilitasi mobilitas jutaan penduduk kota dan memudahkan jutaan orang di pinggiran Jakarta untuk bepergian.
Meski sedang mewujudkan ibu kota yang cerdas dan ramah lingkungan di Nusantara, Kalimantan Timur, tanggung jawab pemerintah untuk melindungi masyarakat Jakarta dari bencana lingkungan tetap harus dilaksanakan.
Pejabat pemerintah harus berhenti menganggap remeh polusi di Jakarta. Justru, harus mulai melakukan yang terbaik untuk membersihkan udara. Jika tidak, masyarakat Jakarta harus menghabiskan waktu bertahun-tahun hidup dalam bahaya akibat polutan yang mengancam jiwa, dan di saat yang sama, perlahan tapi pasti, mengalami tenggelam Jakarta.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.