Jika belum cukup jelas sebelumnya, camkan yang satu ini: hentikan penyalahgunaan institusi demokrasi untuk keuntungan pribadi.
etua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari mungkin dapat mengajukan pembelaan diri, sesaat setelah dewan etik memerintahkan pemecatannya minggu ini. Ia diberhentikan karena kasus pelecehan seksual. Nyatanya, ia berhasil menghancurkan sisa-sisa reputasi yang dimiliki lembaga pemilu. Setahun terakhir, KPU dituduh berkonspirasi dengan negara untuk memajukan ambisi dinasti politisi yang berkuasa.
Hanya sehari sebelum Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan kasusnya, Hasyim mengumumkan bahwa KPU akan mematuhi keputusan kontroversial Mahkamah Agung yang dikeluarkan baru-baru ini. Keputusan tersebut mengubah persyaratan usia untuk kandidat pemilihan umum. Kali ini, keputusan itu membuka jalan bagi Putra bungsu Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk mencalonkan diri sebagai gubernur pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 27 November.
Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, 29, akan memenuhi syarat untuk mencalonkan diri setelah KPU mengubah aturan internal yang melonggarkan persyaratan usia minimum bagi calon potensial.
Dia akan menjadi anggota kedua dari klan Jokowi yang mendapat manfaat dari perubahan peraturan. Sebelumnya, kakak laki-lakinya, wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, berhasil mencalonkan diri berkat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2023. Saat itu, KPU juga tidak banyak mencegah MK.
Dilihat dari sudut pandang ini, pemecatan Hasyim dapat ditafsirkan sebagai jalan keluar dari “tugas berat […] menyelenggarakan pemilu”. Hal itu pun dikatakan sendiri oleh Hasyim. Ia bagai memainkan peran jahat sebagai pelaksana dua upaya pembelokan aturan penyelenggaraan pemilu, mendukung pembangunan dinasti politik Jokowi.
Kurangnya rasa sesal yang ia tampilkan saat mengucapkan terima kasih kepada DKPP karena telah memberinya kesempatan tentu saja makin mendukung tuduhan konspirasi tersebut. Untuk saat ini, Hasyim berhasil bebas dari politik; sekarang terserah kepada pengawas pemilu untuk menuntut akuntabilitas.
Elektabilitas Kaesang sendiri melonjak minggu ini, setelah lembaga survei menyatakan bahwa dia menjadi yang paling populer di pikiran para responden. Peserta survei diminta menyebutkan sosok yang berpeluang besar memenangkan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah. Dukungan politik pun terjadi.
Kini keturunan Jokowi, yang setahun lalu mengaku tidak tertarik pada politik, berada di ambang pintu kekuasaan.
Secara pribadi, kalangan terdekat Jokowi sudah menganggap terpilihnya Kaesang sebagai kesepakatan yang sudah mutlak – bahkan sebulan sebelum ia mendaftar untuk mencalonkan diri. Dihadapkan pada keyakinan yang demikian angkuh, kita harus menyerukan diakhirinya politik dinasti yang sudah mengakar.
Jika hal ini belum cukup dijelaskan camkan yang satu ini: Berhenti menyalahgunakan institusi demokrasi untuk keuntungan pribadi.
Siapa pun kandidat pemimpin, apa pun asal usulnya, harus mendapatkan jabatannya melalui kerja keras yang sah. Membongkar peraturan pemilu yang sudah lama ada dan memasang nepo baby du jour merupakan penghinaan besar bagi masyarakat Indonesia. Istilah nepo baby, dari kata nepotisme, jelas-jelas menunjukkan seseorang yang mendapat posisi atau jabatan karena pengaruh hubungan darah.
Tentu saja, banyak klan lain yang mendapat keuntungan dari kekuatan politik yang sudah dibentuk pendahulu mereka.
Presiden terpilih Prabowo Subianto, misalnya, pernah menjadi menantu diktator Orde Baru Soeharto. Dan jika masyarakat Indonesia menginginkan ibu negara, Siti Hediati Herijadi, atau Titiek Soeharto, bisa saja hadir kembali meski mereka telah lama berpisah. Lagi-lagi hal itu makin menunjukkan hubungan klan.
Selain itu, pemerintahan Yudhoyono, Sukarno, dan banyak dinasti politik Indonesia lainnya mengandalkan kedekatan mereka dengan kekuasaan untuk mengamankan sumber daya bagi kebutuhan masing-masing. Persis cara kerja konglomerasi milik keluarga.
Banyak anggota parlemen, pengusaha, pejabat pemerintah, dan pemimpin daerah di masa depan adalah produk politik dinasti yang dipadukan dengan berbagai tingkat prestasi pribadi. Hal ini mungkin merupakan fakta dalam dunia politik kita. Namun, upaya apa pun untuk memanipulasi konstitusi, undang-undang, dan lembaga demokrasi suatu negara adalah tindakan yang tidak bisa diterima.
Praktik-praktik seperti ini mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Akhirnya, dapat menciptakan peluang terjadinya ketidakstabilan politik. Itulah yang akan menggerogoti fondasi demokrasi kita. Kita tidak boleh kehilangan sistem yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata pada 1998 lalu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.