Bagi negara besar seperti Tiongkok, unjuk kekuatan terhadap negara tetangga yang lebih lemah dan secara ekonomi bergantung padanya adalah hal percuma.
residen Filipina Ferdinand Marcos Jr telah memerintahkan militer untuk meredakan ketegangan di Laut Cina Selatan. Namun panglima militernya, Jenderal Romeo Brawner, bersikeras meminta kompensasi sebesar US$1 juta dari Tiongkok. Alasannya, Tiongkok telah merusak kapal-kapal yang terlibat dalam misi ke Second Thomas Shoal, wilayah yang disengketakan, bulan lalu.
Dalam tanggapannya, Beijing menjawab, “Filipina harus menanggung konsekuensi atas tindakan pelanggaran yang dilakukan”.
Peristiwa itu terjadi tepat setelah Manila dan Beijing menyelesaikan perundingan bilateral baru. Setelah berulang kali terjadi bentrokan yang melibatkan angkatan laut mereka, Wakil Menteri Luar Negeri Tiongkok Chen Xiaodong dan sejawatnya dari Filipina, Theresa Lazaro, sepakat untuk memulihkan kondisi dan membangun lagi rasa saling percaya antara kedua negara di Laut Cina Selatan, pada Selasa lalu. Kesepakatan dilakukan beberapa hari setelah insiden Second Thomas Shoal.
Langkah yang dipilih Presiden Marcos agak berbeda dibandingkan Rodrigo Duterte, pendahulunya. Duterte memilih pemulihan hubungan dengan Beijing demi keuntungan ekonomi, tetapi mempertahankan klaim Manila atas perairan yang kaya sumber daya tersebut. Sedangkan Marcos bersikeras bahwa negaranya punya hak untuk mempertahankan wilayahnya dan mencari bantuan dari pihak lain.
Kantor-kantor berita internasional melaporkan bahwa personel penjaga pantai Tiongkok, yang bersenjatakan pisau dan tombak, menaiki perahu Angkatan Laut Filipina dan menyita senjata api mereka, pada 2 Juli lalu. Tindakan itu merupakan intervensi pertama sejak pemerintahan baru Tiongkok memberi wewenang kepada penjaga pantainya, untuk menahan orang asing yang masuk tanpa izin ke perairan yang dinyatakan sebagai wilayah Tiongkok. Peraturan itu mulai berlaku 15 Juni. Beberapa pihak menggambarkan bentrokan itu sebagai hal yang tidak perlu dan “kekanak-kanakan”.
Bagi negara besar seperti Tiongkok, unjuk kekuatan terhadap negara-negara tetangga yang lebih lemah dan secara ekonomi bergantung pada Tiongkok adalah hal yang tidak perlu. Reaksi berlebihan semacam itu dari Tiongkok tidak akan merugikan pihak lain, tetapi justru mencoreng citra Tiongkok sendiri di mata internasional. Yang dibutuhkan para pengklaim Laut China Selatan saat ini adalah dialog untuk membangun rasa saling percaya.
Ketegangan antara kedua negara sepertinya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Apalagi selama kedua belah pihak, terutama yang merasa leibh kuat di antara keduanya, percaya bahwa unjuk kekuatan adalah pilihan tepat. Negosiasi selalu merupakan cara terbaik untuk menemukan solusi jangka panjang.
Ketegangan antara Tiongkok dan Filipina memanas setelah Permanent Court of Arbitration, atau Mahkamah Arbitrase Antarabangsa, yang berbasis di The Hague, Belanda, pada 2016 menyatakan bahwa Filipina menang atas klaim Laut China Selatan, serta menolak klaim kepemilikan Tiongkok atas hampir seluruh wilayah yang disengketakan tersebut. Beijing menolak mematuhi keputusan tersebut.
Negara-negara anggota ASEAN lainnya, Brunei, Malaysia dan Vietnam juga merupakan pengklaim wilayah laut tersebut. Indonesia tidak termasuk dalam kelompok ini. Meski begitu, Indonesia tidak lalu kebal terhadap konflik dengan Tiongkok, yang menganggap zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara sebagai bagian dari wilayah penangkapan ikan tradisional mereka.
Meskipun negara penggugat lainnya menghindari konflik langsung dengan Tiongkok, Filipina meminta dukungan Amerika Serikat untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok. Filipina pasti kecewa dengan ASEAN karena gagal menunjukkan solidaritas dalam menghadapi Tiongkok.
Manila dan Washington telah menandatangani beberapa perjanjian militer, termasuk hak AS untuk menggunakan pangkalan militer Filipina bagi kepentingan kedua negara. Hari ini, Filipina juga akan menandatangani perjanjian kerja sama militer dengan Jepang.
Negara-negara anggota ASEAN mungkin mengatakan bahwa perselisihan dengan Tiongkok adalah masalah yang harus diselesaikan sendiri oleh Filipina. Namun, konflik tersebut dapat menjadi tidak terkendali dan dampaknya bisa berimbas pada seluruh kawasan, atau bahkan dunia, mengingat posisi strategis Laut Cina Selatan.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah berulang kali berjanji akan mengambil semua tindakan yang diperlukan demi melindungi perairan Natuna dari gangguan pihak asing. Presiden terpilih Prabowo Subianto juga punya pandangan nasionalis yang sama terkait integritas wilayah negara. Namun, hubungan ekonomi yang kuat antara Indonesia dan Tiongkok, tidak bisa tidak, menutupi sengketa wilayah maritim.
Bagaimana pun, reaksi berlebihan dari pihak mana pun di Laut Cina Selatan akan merugikan semua orang, termasuk negara-negara tetangga ASEAN. Hal tersebut dapat dihindari jika Tiongkok dan ASEAN menunjukkan komitmen tulus untuk menyelesaikan perundingan yang telah lama tertunda mengenai Kode Etik di Laut Cina Selatan. Tanpa komitmen itu, kita dapat memperkirakan akan lebih banyak konflik yang terjadi di perairan yang disengketakan tersebut.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.