Seksisme mengakar kuat di lembaga-lembaga negara, bahkan di tingkat pemerintah pusat.
eberapa minggu terakhir, media sosial diramaikan pembicaraan soal sejumlah situs web dan program pemerintah daerah yang menggunakan nama-nama yang tampak mengobjektifikasi perempuan. Pemilihan nama itu seolah melestarikan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat di masyarakat.
Di antara nama-nama yang banyak dikritik adalah situs web layanan kesehatan pemerintah daerah Cirebon. Situs itu disebut Sipepek, yang dalam bahasa Indonesia biasa digunakan untuk merujuk pada alat kelamin perempuan.
Pemerintah setempat mengklaim bahwa situs tersebut dinamai berdasarkan kata dalam dialek lokal yang berarti "semua tersedia ". Namun, hal itu tetap membuktikan ketidakpekaan para pejabat terhadap masalah-masalah serius seperti seksisme dan pelecehan seksual.
Tidak berlebihan jika menyebut bahwa pemerintah tidak peka dalam memilih nama. Buktinya, sudah ada program resmi lain yang namanya bernuansa serupa. Nama situs web yang dimaksud, antara lain, Simontok untuk aplikasi pemantau stok pangan milik Pemerintah Kota Surakarta, Jawa Tengah, serta Siska Ku Intip untuk sistem integrasi komoditas dan peternakan di Kalimantan Selatan.
Di Kota Tegal, ada program yang menyasar pekerja rentan, namanya Mas Dedi Memang Jantan. Nama itu menuai kecaman dari masyarakat karena dianggap melanggengkan konsep patriarki tentang maskulinitas. Apalagi, saat program diluncurkan pada 2022, kota itu dipimpin Wali Kota Dedy Yon Supriyono.
Keberanian pemerintah daerah menggunakan nama-nama semacam itu bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat seksisme sudah mengakar kuat di lembaga-lembaga negara. Seksisme bahkan masih ada di tingkat pemerintah pusat.
Bahkan tokoh yang disegani seperti mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sempat melontarkan guyonan seksis saat merebaknya COVID-19. Ia menyamakan perempuan dengan virus corona.
“Kemarin saya dapat meme yang isinya begini, ‘Corona itu seperti istri. Kamu coba kendalikan, tapi ternyata tidak bisa. Terus kamu belajar hidup dengan itu’,” ujarnya berseloroh. Ia mengklaim bahwa meme itu dikirim oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Meski mendapat kecaman atas pandangannya yang tidak peka dan misoginis, Mahfud, yang Februari mencalonkan diri sebagai wakil presiden, beberapa kali melontarkan komentar-komentar tidak sensitif lainnya.
Saat berkampanye di Sumatera Barat Desember lalu, misalnya. Mahfud menyebut bahwa istri-istri koruptor adalah pihak yang harus disalahkan atas perbuatan suami. Alasannya, para istri itulah yang menekan suami mereka untuk hidup di luar kemampuan. Ironisnya, komentar itu disampaikan di hadapan sekelompok perempuan, saat ia membahas pentingnya peran perempuan dalam pembangunan bangsa.
Komentar kontroversial Mahfud dan ketidakpeduliannya saat dikritik menunjukkan betapa kuatnya budaya patriarki yang mengakar dalam pemerintahan Indonesia. Kita harus menghentikan ini karena merendahkan perempuan merupakan akar dari kekerasan berbasis gender.
Setiap tahun, Indonesia mengalami ratusan ribu kasus kekerasan berbasis gender. Hal itu dicatat oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Pada 2024 saja, sebanyak 401.975 kasus dilaporkan ke otoritas terkait. Tetapi jumlah tersebut diyakini merupakan puncak gunung es, karena banyak korban yang memilih bungkam.
Yang memperburuk masalah ini adalah laporan Komnas Perempuan bahwa para pelaku termasuk pejabat penegak hukum, pegawai negeri sipil, serta personel polisi dan militer.
Pemerintah tidak hanya berkontribusi menormalisasi sikap misoginis, tetapi juga tampaknya termasuk aktor di balik maraknya kekerasan terhadap perempuan di negara ini. Jika kita benar-benar ingin ada perubahan dan ingin menghilangkan segala bentuk perilaku tidak pantas terhadap perempuan, perubahannya harus dimulai dari tingkat teratas.
Langkah pertama untuk menunjukkan rasa hormat kepada perempuan adalah dengan mengubah nama-nama program resmi pemerintah yang kontroversial menjadi nama yang lebih pantas tetapi tetap menarik. Bagaimanapun, layanan publik harus berjalan seiring dengan kesopanan umum.
Mengubah nama-nama situs web yang kontroversial setelah mendapat protes publik tidaklah cukup. Justru, hal tersebut dapat memancing kemarahan yang lebih besar. Terutama karena kerja keras para pembela hak-hak perempuan untuk membuat masyarakat lebih sadar akan kesetaraan gender jadi sia-sia.
Hal terbaik yang dapat dilakukan pemerintah adalah memperjuangkan dan memajukan hak-hak perempuan. Jangan justru merendahkan perempuan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.