Keputusan ICJ mungkin tidak mengikat, tetapi ada keharusan moral besar bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, untuk bertindak dan memastikan bahwa keputusan tersebut dipatuhi.
rinsip kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif sedang ditantang oleh opini dari Mahkamah Internasional atau International Court Justice (ICJ). ICJ telah menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina sebagai tindakan ilegal. Ini merupakan kesempatan langka bagi Indonesia, sebagai negara berkekuatan menengah, untuk berkontribusi pada kampanye panjang demi mewujudkan perdamaian dan menciptakan negara Palestina yang merdeka.
Kita memang tidak boleh terlalu berharap. Kita tidak bisa menganggap remeh tantangan dalam menemukan titik damai antara Israel dan Palestina. Bagaimana pun, Indonesia harus menggunakan semua kekuatan dan pengaruhnya, juga sederet pengalaman diplomatik luar biasa, dalam menciptakan perdamaian. Indonesia harus berusaha keras menemukan solusi yang langgeng bagi konflik tersebut.
Rekomendasi ICJ pada 19 Juli adalah yang pendapat dari badan hukum global yang paling menyeluruh terkait pengakuan atas hak-hak rakyat Palestina. Selain menyatakan bahwa keberadaan dan kebijakan Israel di wilayah pendudukan sebagai tindakan ilegal, Mahkamah Internasional menyerukan agar Israel membongkar permukiman ilegal, mengembalikan tanah yang disita setelah perang 1967 kepada Palestina, dan membayar kompensasi bagi rakyat Palestina.
Pendapat Mahkamah Internasional mungkin tidak mengikat. Tapi, ada keharusan moral yang besar bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, untuk bertindak dan memastikan bahwa rekomendasi tersebut dipatuhi.
Tidak heran, Israel telah menolak pendapat ICJ. Demikian juga Amerika Serikat, pelindung utama negara Yahudi tersebut. Minggu lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan perjalanan ke Washington untuk berpidato di hadapan Kongres. Ia tekankan bahwa ia mensyukuri dukungan bipartisan di AS. Dua kubu di AS yang biasa berseteru memang telah sepakat dalam masalah Israel.
Siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden Amerika, yang akan mengendalikan Gedung Putih, pada November mendatang, dapat kita yakini tidak akan mengubah kebijakan Washington terhadap Israel. Meskipun saat ini ada dorongan yang semakin besar di antara masyarakat Amerika, termasuk di kampus-kampus terkemuka, agar AS menekan Israel untuk mengakhiri serangan genosida di Jalur Gaza dan di wilayah Tepi Barat.
Dukungan tegas pemerintah AS terhadap Israel telah merusak kredibilitasnya sebagai perantara yang berintegritas dalam konflik Israel-Palestina. Apakah mengherankan bahwa hampir tidak ada kemajuan terkait solusi dua negara, yang dimediasi Amerika pada 2000? Dengan dukungan AS, Israel telah membangun lebih banyak permukiman sehingga solusi dua negara hanya menjadi sekadar tipu muslihat untuk mengulur waktu guna memperluas wilayahnya.
Pendapat ICJ juga tidak akan mengubah situasi di daerah konflik. Militer Israel melanjutkan operasinya untuk menghancurkan Gaza. Tindakan tersebut telah menewaskan hampir 40.000 orang, sebagian besar anak-anak dan perempuan. Serangan juga memaksa lebih dari 1 juta orang mengungsi. Pelecehan terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki juga meningkat. Israel justru menjadi semakin brutal.
Namun, ICJ memberi rakyat Palestina, dan pendukung internasional mereka, secercah harapan, setidaknya di bidang diplomatik. Di sinilah Indonesia harus terlibat.
Inilah saatnya Indonesia maju, apa pun yang telah dilakukan diplomat Indonesia di masa lalu dalam memperjuangkan negara Palestina merdeka. Kini semakin banyak negara yang mengakui Palestina. Bahkan, saat ini sudah ada dukungan untuk meningkatkan status Palestina di Majelis Umum PBB, dari status pengamat menjadi anggota penuh.
Ketiadaan hubungan diplomatik dengan Israel terbukti menjadi hambatan besar bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam mediasi perdamaian. Tanpa sarana komunikasi langsung, Indonesia secara efektif dihalangi untuk menjadi perantara yang kredibel. Namun, tidak membuka hubungan diplomatik dengan Tel Aviv adalah pilihan sadar yang telah dibuat Jakarta. Pilihan itu berarti tidak akan mengakui negara Israel hingga setelah terbentuknya negara Palestina yang merdeka.
Terlepas dari ada atau tidaknya hubungan dengan Israel, Indonesia harus melakukan yang terbaik sesuai kapasitasnya, untuk membantu menemukan solusi yang abadi. Kapasitas itu makin besar setelah Indonesia kini diakui sebagai negara dengan kekuatan menengah.
Perdamaian tidak akan terwujud dalam semalam. Namun, Indonesia tidak boleh menyerah. Kita harus menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk mewujudkan tujuan itu, meskipun yang bisa kita lakukan hanya maju selangkah demi selangkah. Rekomendasi ICJ telah membuka kesempatan itu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.