Tema yang terus berulang dalam sejarah pascakemerdekaan negara ini adalah bahwa hanya melalui persatuan di antara elit politik, rakyat, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), maka Indonesia bisa membebaskan diri dari belenggu kolonialisme.
Tema persatuan selalu menjadi slogan utama perayaan tahunan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Yang terus digaungkan berulang kali dalam sejarah pascakemerdekaan negara ini adalah bahwa hanya melalui persatuan di antara elit politik, rakyat, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Indonesia berhasil membebaskan diri dari belenggu kolonialisme.
Namun, saat ini, tampaknya persatuan adalah hal langka, justru ketika negara ini bersiap untuk merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-79.
Dalam keadaan normal, berita tentang mantan presiden Megawati Soekarnoputri yang tidak hadir di upacara Hari Kemerdekaan nyaris terabaikan karena tidak jadi berita utama. Lagipula, di masa lalu, ia telah melewatkan acara serupa beberapa kali.
Baru-baru ini, dikabarkan Megawati lagi-lagi memutuskan tidak menghadiri upacaya Hari Kemerdekaan di ibu kota negara masa depan, Nusantara (IKN). Keputusan itu terasa berbeda dengan rencana ketidakhadirannya sebelum ini. Kali ini, penolakan Megawati untuk hadir di upacaya kemerdekaan terasa seperti upaya perlawanan. IKN adalah proyek kesayangan Presiden yang akan lengser, Joko "Jokowi" Widodo.
Sejak Presiden Jokowi mendukung pencalonan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang sekarang menjadi presiden terpilih, dan menunjuk putranya sendiri Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Prabowo, hubungan pribadi antara Megawati dan Presiden telah berada di titik terendah. Kemenangan Prabowo dan Gibran mengorbankan Ganjar Pranowo dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dan dengan adanya kemungkinan dua menteri yang dulu diajukan Megawati akan diganti dalam perombakan kabinet yang akan datang, sulit untuk mengharapkan hubungan mereka dapat pulih dalam waktu dekat.
Penolakan Megawati untuk bergabung dalam perayaan Hari Kemerdekaan di Nusantara juga terjadi setelah Presiden Jokowi unjuk kekuatan, jika bukan pamer persatuan, pekan lalu. Saat itu, Presiden menggelar rapat kabinet lengkap di IKN. Hampir semua menteri hadir, termasuk Prabowo.
Namun bisa jadi para menteri kabinet tidak punya pilihan selain berangkat ke Nusantara. Terutama setelah apa yang terjadi pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, yang mundur dari posisi Ketua Umum Partai Golkar pada malam sebelumnya. Dan tentu saja ada ancaman perombakan kabinet, yang telah dibicarakan selama berbulan-bulan, untuk mengintimidasi agar partai politik tunduk saja pada yang berkuasa.
Bagi partai-partai di luar koalisi yang berkuasa, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, perombakan kabinet akan memberi mereka akses ke kekuasaan. Inilah masalahnya, terutama jika kita ingin demokrasi kita berfungsi penuh.
Kita sudah melihat yang terjadi dalam proses pencalonan kandidat untuk pemilihan kepala daerah. Kandidat yang lebih populer dan berkualitas dikesampingkan demi individu-individu yang disukai oleh koalisi Indonesia Maju (KIM), yang merupakan koalisi yang berkuasa.
Dan bagi partai politik seperti PDI-P, yang telah mencalonkan sejumlah kandidat kuat untuk menjadi lawan kandidat KIM dalam pemilihan kepala daerah November kelak, kita dapat memperkirakan nasibnya. Partai tersebut akan segera kehilangan kursi mereka di kabinet, sebagai bentuk hukuman.
Bagi partai-partai seperti PDI-P yang tidak lagi disukai Presiden, perombakan ini hanya akan memperkuat tekad mereka dalam melawan koalisi yang berkuasa.
Kita sudah mendengar adu kata-kata kasar, antara pimpinan PDI-P dan pendukung Presiden.
Kenyataan yang menyedihkan tentang situasi ini adalah bahwa PDI-P sekarang menjadi satu-satunya suara yang menentang pemerintah yang berkuasa. Hal itu merupakan berita buruk bagi demokrasi.
Seharusnya, agar demokrasi dapat berfungsi, ada lebih banyak suara penentang yang harus didengar. Lebih jauh, tidak boleh ada bujukan atau ancaman yang dapat mempengaruhi pendapat siapa pun.
Kekuatan bangsa tidak hanya terletak pada persatuannya tetapi juga pada keberagaman. Saat ini, di Indonesia, kita menghadapi risiko kehilangan keberagaman dalam politik.
Setiap politisi dan partai politik harus bebas memperjuangkan ide-ide dan platform politik mereka. Mereka bebas mendiskusikan gagasan tanpa tekanan.
Tujuh puluh sembilan tahun setelah kemerdekaan, negara ini layak mendapatkan yang lebih baik ketimbang rasa persatuan yang dibungkus kepalsuan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Thank you for sharing your thoughts.
We appreciate your feedback.