Demi mewujudkan generasi Indonesia yang “emas” sebagaimana yang dicanangkan dalam Visi 2045, partai politik wajib mengembangkan talenta-talenta yang dimilikinya. Lebih jauh, partai politik tidak boleh berasumsi yang cenderung merendahkan pemilih, dan menganggap mereka sebagai orang yang tidak cerdas.
iga hari pendaftaran calon kandidat pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan diselenggarakan serentak pada November, telah resmi ditutup pada tengah malam hari Jumat 30 Agustus. Di beberapa daerah pemilihan, terjadi serbuan pendaftar terakhir yang sangat banyak.
Daftar calon yang paling terkini telah ditetapkan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan bahwa telah terdaftar 1.518 pasangan calon untuk mengikuti pemilihan.
Sambil menunggu huru-hara mereda hingga peta percaturan politik ini bisa terlihat lebih jelas, marilah kita sekali lagi memberikan penghormatan setinggi-tingginya pada Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah mengeluarkan putusan tepat waktu, yang pada akhirnya memungkinkan terciptanya sebuah kompetisi dalam pilkada yang lebih seimbang.
MK memutuskan menurunkan ambang batas jumlah kursi di legislatif untuk syarat sebuah partai mengajukan calon mereka. Hal itu merevisi cara mengukur dukungan partai politik. MK juga mempertahankan persyaratan usia.
Apresiasi juga harus diberikan pada demonstrasi massa yang diorganisir secara instan. Gerakan turun ke jalan itu dimotori oleh suara-suara kritis kaum muda. Unjuk rasa semakin kuat menekan pihak otoritas dan politisi, yang berusaha mengabaikan putusan MK. Berkat mereka, pemilihan kepala daerah 2024 menjadi lebih kompetitif lagi. Setidaknya, lebih banyak calon kandidat yang mendaftar. Meskipun, ada 48 daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Paling tidak, beberapa partai berani untuk berjuang sendiri, sehingga memberikan perlawasan pada tujuan koalisi besar.
Namun, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh kita semua. Para kandidat, sponsor politik, dan pemilih harus berupaya mencapai sistem pemilihan demokratis yang lebih substantif dan tidak terlalu prosedural.
Dalam beberapa tahun terakhir, lanskap politik nasional telah diambil alih oleh praktik-praktik bermodel kartel, yang dilakukan koalisi besar. Koalisi tersebut mendukung presiden terpilih Prabowo Subianto tetapi diwarnai perundingan dan kongkalikong antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan sekutu politiknya.
Pemikiran kelompok ini bahkan telah menyusup ke dalam politik elektoral lokal. Padahal, sebelumnya, politik elektoral lokal relatif berkembang cukup independen, lepas dari pengaruh politik nasional. Independensi dimungkinkan berkat keragaman daerah pemilihan dan peran penting yang dimainkan oleh elektabilitas lokal.
Sementara putusan MK dan demonstrasi telah membantu meredam ambisi pembangunan dinasti dan menghentikan upaya untuk menyelaraskan pemilihan kepala daerah dengan misi aliansi nasional, tetapi langkah-langkah itu belum sepenuhnya menghilangkan faktor-faktor pengganggu pemilu. Misalnya, dalam kasus mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan. Hasil jajak pendapat yang menunjukkan popularitas yang tinggi tidak menjamin pencalonan Anies berjalan mulus. Upaya pemilihannya kembali digagalkan oleh politik partai.
Setidaknya satu anggota Partai Buruh, yang berupaya mendukung Anies dalam pemilihan gubernur Jakarta, bahkan menyatakan bahwa proses pemilihan tersebut "tidak demokratis".
Sebagai negara yang secara konstitusional terikat pada demokrasi yang didasarkan pada kebijaksanaan wakil rakyat, masih banyak harapan yang belum terpenuhi terkait penyaluran aspirasi publik.
Tanggung jawab ada di tangan peserta pemilihan. Mereka harus memanfaatkan sumber daya, jaringan, dan modal sosial mereka demi kebaikan konstituen. Mereka harus memberikan rencana yang jelas dan dapat ditindaklanjuti, yang membahas isu-isu utama di daerah masing-masing. Mereka harus terlibat dalam debat yang transparan, mempromosikan pendidikan kewarganegaraan, berkampanye secara inklusif, dan berkomitmen pada praktik kampanye yang etis.
Khusus untuk pendukung politik seperti partai politik, donatur, dan kelompok kepentingan lainnya, masyarakat berharap mereka mendukung kandidat dengan platform yang lebih substantif. Kandidat tersebut harus mempromosikan akuntabilitas. Para sponsor juga selayaknya hanya memfasilitasi kampanye yang fokus pada substansi, dan bukan sekadar promosi pesan dangkal.
Demi mewujudkan generasi Indonesia yang “emas” sebagaimana yang dicanangkan dalam Visi 2045, partai politik wajib mengembangkan talenta-talenta yang dimilikinya. Lebih jauh, partai politik tidak boleh berasumsi yang cenderung merendahkan pemilih, dengan menganggap mereka sebagai pihak yang tidak cerdas.
Bagi kita para pemilih, kita harus selalu menuntut substansi dari para kandidat pilkada. Kita harus mendidik diri kita sendiri tentang isu-isu yang perlu jadi fokus di setiap daerah pemilihan kita. Kita juga harus terbuka terhadap lebih banyak partisipasi sipil dan menahan diri agar tak jadi korban retorika populis dan sensasionalisme.
Aksi unjuk rasa beberapa minggu terakhir seharusnya menjadi titik awal bagi kita, dalam upaya menjadi warga negara yang lebih aktif.
Dengan bekerja sama, kita semua dapat membantu mengalihkan fokus pemilu dari sekadar formalitas prosedural ke diskusi substantive. Pilkada harus benar-benar menjawab kebutuhan dan kekhawatiran publik di semua tingkat pemerintahan.
Saat pendaftaran kandidat ditutup, jalan menuju hari pemungutan suara membukakan visi harapan baru, untuk semakin menyempurnakan demokrasi yang telah susah payah kita perjuangkan.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.