Kemunculan tiba-tiba ide andalan "susu" ikan lebih berisiko menjadi gangguan politik ketimbang intervensi gizi yang berkualitas.
eiring dengan semakin dekatnya permulaan pemerintahan baru, banyak yang menunggu pelaksanaan program makanan bergizi. Makan siang gratis adalah salah satu janji kampanye ambisius presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dari wacana yang muncul sejauh ini, satu inovasi spesifik telah memicu rasa ingin tahu sekaligus kekhawatiran. Inovasi tersebut adalah "susu" ikan sebagai pengganti susu dalam makanan ini.
Kementerian Kelautan dan Perikanan baru-baru ini menggembar-gemborkan "susu" ikan sebagai alternatif susu sapi untuk sumber protein tinggi. Kementerian menyarankannya untuk mendukung perbaikan gizi siswa di seluruh negeri.
Inovasi ini mungkin tampak sebagai solusi kreatif. Namun, sudah sepatutnya jika para ahli mempertanyakan sekiranya hal itu benar-benar sejalan dengan tujuan lebih luas dari program kesehatan dan gizi masyarakat di negara ini.
Pertama, mempromosikan "susu" ikan sebagai pengganti susu sapi tampaknya sekadar percobaan karena belum ditemukan inovasi lain yang lebih sesuai. Meskipun baru, inovasi ini mungkin tidak secara efektif mengatasi tantangan utama masalah gizi di Indonesia, khususnya yang disorot dalam Undang-Undang No. 59/2024 yang baru saja disahkan. Undang-undang tersebut menguraikan rencana pembangunan nasional jangka panjang hingga 2045.
Di antara tujuan utama yang diuraikan dalam undang-undang terdapat pengurangan angka stunting dan malnutrisi, peningkatan keragaman makanan, dan fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro esensial.
Meskipun "susu" ikan mungkin mengandung protein tinggi, tetapi masih perlu dipertanyakan profil mikronutrien, bioavailabilitas, serta kemampuan “susu” ikan tersebut dalam memenuhi kebutuhan gizi anak-anak, dibandingkan dengan susu biasa atau makanan padat gizi lainnya.
Kekhawatiran yang lebih luas adalah bahwa inovasi ini tampaknya tidak sejalan dengan target gizi yang dicanangkan. Prioritas gizi Indonesia, sebagaimana diuraikan dalam undang-undang baru, fokus pada memastikan sistem pangan yang berkelanjutan dan beragam untuk memenuhi kebutuhan anak-anak (dan ibu hamil).
Daripada fokus pada inovasi spesifik seperti itu, seharusnya upaya yang dilakukan berpusat pada peningkatan akses terhadap makanan seimbang dengan zat gizi mikro yang cukup, bagi anak-anak yang paling berisiko mengalami kekurangan gizi.
Pengembangan "susu" ikan, meskipun berpotensi menguntungkan bagi sektor industri tertentu, tampaknya justru menghambat tujuan kesehatan masyarakat yang lebih luas ini. Penekanannya harus pada strategi yang sudah terbukti keberhasilannya, seperti memperkaya makanan pokok dan memastikan bahwa makanan yang tersedia di sekolah mengandung berbagai buah, sayuran, dan biji-bijian utuh.
Kedua, kemunculan mendadak ide besar "susu" ikan lebih berisiko menjadi gangguan politik ketimbang sebagai intervensi gizi yang berarti. Menurut laporan media, sektor industri bersiap untuk memproduksi "susu" ikan, tetapi masih belum jelas manfaat praktisnya bagi anak-anak di sekolah.
Ketergesa-gesaan memamerkan inovasi ini bisa jadi lebih bertujuan untuk membuat sekutu politik terkesan, atau mendapatkan dukungan dari pemerintahan yang akan datang. Ide ini muncul bukan untuk memenuhi kebutuhan gizi yang sesungguhnya, untuk populasi yang disasar.
Selain itu, prospek pengeluaran dana publik dalam jumlah besar untuk program ini menuntut pemerintah untuk fokus pada inisiatif yang benar-benar melayani tujuan kesehatan dan pendidikan jangka panjang negara ini. Program makan siang gratis diperkirakan menghabiskan dana Rp77 triliun ($5 miliar dolar Amerika) pada tahun pertama saja.
Program makan siang gratis tidak boleh digunakan sebagai platform untuk produk eksperimental yang belum terbukti keberhasilannya. Bahkan susu sapi, yang masih bergantung pada impor ternak, punya daya tarik yang rendah karena harganya yang sangat mahal. Dan masih banyak pertanyaan mengenai kesesuaian susu dengan pola makan dan ekosistem Indonesia.
Sumber daya harus diarahkan pada solusi nutrisi berbasis bukti yang tidak hanya meningkatkan kesehatan fisik, tetapi juga meningkatkan literasi nutrisi di kalangan siswa.
Hal ini membawa kita pada poin penting pendidikan. Undang-undang baru tersebut juga menekankan pentingnya meningkatkan sumber daya manusia melalui nutrisi dan pendidikan yang lebih baik. Dalam hal ini, makan siang gratis lebih dari sekadar makanan. Program makan siang gratis merupakan kesempatan untuk mengajarkan kebiasaan makan sehat kepada generasi muda.
Memperkenalkan produk seperti "susu" ikan tanpa dukungan latar belakang kesehatan masyarakat yang memadai berisiko merusak aspek pendidikan ini. Anak-anak perlu belajar tentang pentingnya pola makan seimbang, ragam makanan yang variatif, mudah didapat, dan sesuai kebiasaan.
Terakhir, kita harus ingat bahwa program makan siang gratis ini merupakan investasi yang signifikan bagi generasi mendatang. Program ini layak mendapatkan tingkat perhatian dan tinjauan yang lebih dari sekadar janji-janji politik.
Memperkenalkan inisiatif seperti “susu” ikan secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan tujuan gizi yang lebih luas akan berisiko mengurangi nilai program tersebut, menjadi hanya taktik kampanye pemilu belaka.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.