PON yang seharusnya jadi panggung bagi para atlet dari seluruh negeri untuk menunjukkan prestasi mereka, justru menampilkan pelanggaran sportivitas, serta tindakan kekerasan, dan vandalism. Hal itu bertentangan dengan nilai-nilai inti yang harus dijunjung tinggi oleh semua atlet.
pacara gemerlap di Stadion Sumatera Utara di Deli Serdang pada Jumat 20 September malam menandai berakhirnya Pesta Olahraga Nasional (PON) ke-21. Tetapi kemerahan itu seperti hal yang terlambat dan masih kurang dapat menyembunyikan perayaan tersebut terlambat dan tidak cukup untuk menebus kontroversi yang telah menodai acara olahraga empat tahunan tersebut.
Ketidakhadiran Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk secara resmi menutup PON hanya menambah cemoohan atas berbagai hal miring yang terjadi sepanjang dua minggu masa pertandingan yang disebut-sebut sebagai ajang utama bagi bakat-bakat olahraga nasional yang bercita-cita untuk go internasional. Presiden disebut-sebut melewatkan perjalanan ke Medan untuk menghadiri resepsi pernikahan putra mantan gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di Surabaya.
Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo mengatakan bahwa Presiden memang tidak dijadwalkan untuk menutup PON. Namun, apa pun alasannya, penyelenggaraan pesta olahraga untuk pertama kalinya di Sumatera Utara dan Aceh itu sarat kejanggalan. Banyak cerita miring, baik di dalam maupun di luar arena pertandingan.
Infrastruktur yang buruk, yang terlihat dari belum rampungnya fasilitas di dalam dan sekitar arena olahraga, menjadi keluhan paling umum dari para atlet dan petugas resmi. Stadion Sumatera Utara belum sepenuhnya siap untuk upacara penutupan. Akibatnya, pengerjaan konstruksi dipercepat hanya beberapa hari sebelum acara.
Sungguh menyedihkan melihat video-video yang diunggah di media sosial yang memperlihatkan para atlet mengarungi jalan berlumpur untuk mencapai stadion. Beberapa atlet dan ofisial juga mengeluhkan ruang ganti yang kotor, kamar mandi tidak dapat digunakan, dan kondisi lapangan berdebu serta licin. Menurut mereka, hal itu menyebabkan latihan dan pertandingan menjadi berbahaya.
Di lapangan, PON yang seharusnya menjadi panggung bagi para atlet dari seluruh negeri untuk menunjukkan prestasi mereka, justru menampilkan pelanggaran sportivitas. Ada pula tindakan kekerasan dan vandalisme, yang bertentangan dengan nilai-nilai inti yang harus dijunjung tinggi oleh semua atlet.
Pertandingan perempat final sepak bola putra antara tuan rumah Aceh dan Sulawesi Tengah di Banda Aceh, Sabtu lalu, jadi contoh nyata. Tim tamu harus bermain dengan 10 orang setelah bek mereka, M. Rizki Saputra, menjatuhkan wasit, Eko Agus Sugih. Hal itu dilakukan sebagai protes atas keputusan kontroversial sang wasit, yang memberikan penalti kepada tim tuan rumah.
Belakangan diketahui bahwa Eko bukanlah wasit yang awalnya ditunjuk untuk memimpin pertandingan. Manajer tim Sulawesi Tengah, Susik SKM, mengatakan bahwa ia mendapat informasi terkait wasit pertandingan yang awalnya adalah tugas Achmad Hafid Hilmi.
Saat kedudukan imbang 1-1 di babak tambahan, Sulawesi Tengah memutuskan untuk menghentikan pertandingan. Hal itu membuka jalan bagi Aceh untuk melaju ke semifinal. Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir berjanji akan mengusut insiden memalukan itu dan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kekacauan itu.
Pertandingan memalukan di Banda Aceh itu terjadi setelah tim nasional yang beranggotakan pemain naturalisasi membuat kejutan di babak kualifikasi Piala Dunia. Tim nasional berhasil menahan imbang finalis Piala Dunia reguler Arab Saudi dan Australia.
Kini setelah pesta olahraga itu usai, tantangan bagi pemerintah dan federasi olahraga adalah mengembalikan PON sebagai ajang bergengsi. PON harusnya menjadi tempat bakat-bakat daerah tidak hanya beradu untuk memperebutkan medali atau bonus uang, tetapi juga menjunjung tinggi sportivitas. Meraih medali hanyalah hasil dari proses. Dalam proses itulah para atlet belajar tentang kedisiplinan, kerja keras, dan rasa hormat terhadap orang lain.
Triliunan rupiah uang pajak yang digelontorkan untuk setiap PON akan sia-sia jika atlet-atlet kita tidak berpegang teguh pada nilai-nilai dasar sportivitas itu.
Share your experiences, suggestions, and any issues you've encountered on The Jakarta Post. We're here to listen.
Thank you for sharing your thoughts. We appreciate your feedback.
Quickly share this news with your network—keep everyone informed with just a single click!
Share the best of The Jakarta Post with friends, family, or colleagues. As a subscriber, you can gift 3 to 5 articles each month that anyone can read—no subscription needed!
Get the best experience—faster access, exclusive features, and a seamless way to stay updated.